Tuesday, April 16, 2024
HomeGagasanMengkritisi Setahun Anies di Jakarta

Mengkritisi Setahun Anies di Jakarta

 

Kemarin, tepatnya 16 Oktober 2018, adalah genap satu tahun Anies Rasyid Baswedan menjabat Gubernur DKI Jakarta. Sandiaga Uno, Wakil Gubernur? Tetap tak bisa diabaikan peran besarnya membantu Gubernur. Suksesnya Anies, sukses pula bagi Sandi. Saat ini, biarlah Sandi fokus sebagai calon wakil presiden untuk rencana kerja yang jauh lebih besar dan menantang.

Perjalanan setahun sebagai Gubernur DKI, sarat dinamika. Diiringi takbir dan shalawat saat pencoblosan dan pelantikan, berlanjut demo dan kritik sebagai ritual harian saat melaksanakan tugas. Ini bagian dari asesoris politik yang harus turut dirasakan oleh seorang gubernur. Karena gubernur adalah jabatan politik.

Pujian dan kritik ibarat musim yang silih berganti. Kadang kemarau ketika program yang dijalankan belum sampai ke wilayah tertentu. Tapi segera berganti hujan ketika hasilnya sudah mulai dirasakan. Warga punya subyektifitasnya masing-masing yang ketika bersentuhan dengan kepentingan elit terkadang melahirkan petir, bahkan badai. Seorang pemimpin, termasuk gubernur mesti peka dan siap menghadapi situasi obyektif seperti ini.

Dalam tradisi kita, 100 hari dan hitungan tahun sering dijadikan batas waktu untuk mengevaluasi kinerja seorang pemimpin, termasuk gubernur. Bagaimana cara evaluasinya? Gampang!

Pertama, lihat janji Anies. Ada 23 janji saat kampanye. Jika kita ingin sedikit kritis, apakah 23 janji kampanye itu sesuai dengan visi besar Anies membangun Jakarta?

Apa visi besar Anies untuk Jakarta? “Berpihak kepada yang lemah dengan memberikan kesempatan untuk hidup setara dengan yang lain”. Visi ini menarik. Sebab, kehadiran penguasa seringkali menjadi tangan panjang kelompok elit. “Budak-budak kapitalis”, kata sebagian aktivis. Anies menegaskan posisioning dirinya.

Penutupan Alexis, penghentian reklamasi dan teguran kepada para pemilik gedung terkait pelanggaran mengambil air tanah, adalah bagian dari posisioning Anies terhadap para elit itu. Anies menegaskan ia tidak bersama dan satu pihak dengan mereka yang biasa melakukan kesewenang-wenangan dengan uangnya. Anies tidak memusuhi mereka, tapi memastikan bahwa hukum dan aturan itu ditegakkan secara adil di Jakarta. Tidak hanya berlaku untuk orang lemah, tapi juga harus tegas kepada mereka yang merasa kuat. Kalimat ini yang berulangkali disampaikan oleh Anies.

Ketegasan ini sekaligus menjawab stigma bahwa Anies lemah dibanding Ahok, dan hanya pandai bicara. Anies telah menjawabnya dengan kebijakan dan kerja nyata. Soal ini, Anies layak diberikan apresiasi.

Kedua, Apakah 23 janji Anies itu sudah masuk rencana program? Lebih konkretnya, apakah sudah dianggarkan dan masuk di RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah). Diusulkan ke DPRD, lalu disetujui anggarannya. Anies tegas menjawab bahwa di tahun pertama semua janji itu sudah masuk dan dapat anggaran.

Masuknya 23 janji dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah adalah data riil untuk mengukur tingkat komitmen Anies. Meski masyarakat tahu, DPRD DKI mayoritas anggotanya berasal dari partai yang tidak pendukung Anies. Dalam situasi itu kita bisa membayangkan betapa tidak mudahnya memperjuangkan program berkaitan dengan 23 janji itu untuk ketuk anggaran di DPRD. Disini yang dibutuhkan tidak hanya semangat dan komitmen, tapi juga kemampuan dalam komunikasi politik. Keberhasilan anggaran ini menunjukkan kepiawaian Anies dalam komunikasi politik. Dan itu tidak gampang.

Ketiga, lihat bagaimana program yang direncanakan dan diketuk anggarannya oleh DPRD itu direalisasikan. Untuk melaksanakan tugas ini Anies harus bekerja dengan para kepala dinas yang baru saja dilantik oleh Djarot. Hanya beberapa hari sebelum Djarot berakhir masa tugasnya. Artinya, Anies harus bekerja dengan orang-orang yang patut dievaluasi loyalitasnya. Ini tak mudah.

Apapun keadaannya, data obyektif di lapangan mesti jadi ukuran. Hasil kinerja Anies harus dilihat telanjang, apa adanya. Diantara data itu adalah DP 0%. Sedang proses realisasi. KJP plus berhasil dilaksanakan. Ok Oce sebagai program pengentasan 200.000 angka pengangguran sudah berjalan. Transportasi sudah terintegrasi dalam program “Lingko”. Dan juga program-program yang lainnya. Ini data riil.

Jika diidentifikasi, ada tiga kualifikasi program Anies yang didesign untuk Jakarta. Pertama
Program penyelamatan. Penutupan Alexis, penghentian reklamasi, ancaman bagi pemilik gedung yang melakukan pelanggaran dalam penyerapan air tanah, gugatan terhadap pembelian Rumah Sakit Sumber Waras dan tanah BMW. Semua itu adalah upaya penyelamatan aset materiil dan non materiil milik DKI.

Kedua, program pengendalian. Sebut saja problem solving. Setiap daerah punya problem masing-masing. Kegagalan mengindentifikasi problem memastikan program tak akan efektif. Apa problem DKI? 51,7% warga Jakarta tak punya rumah. Maka dibuat program rumah DP 0%. 1/3 warga Jakarta tak lulus SMA. Maka dibuat KJP Plus. Masyarakat Jakarta minimal bisa sekolah sampai SMA. 40% warga Jakarta tak menikmati air bersih. Maka dibuat program pipanisasi yang sudah 12 tahun tak tersentuh. Orang miskin di Jakarta beli air perhari Rp. 20.000. sebulan Rp. 600.000. Sementara orang kaya beli air setiap bulan Rp. 120.000. Lebih mahal yang dibeli orang miskin. Inilah gunanya visi berpihak kepada yang lemah agar bisa hidup setara dengan yang lain.

Dalam rangka kesetaraan itu, Anies memberi ruang bagi sepeda motor untuk bisa melewati jalan Tamrin. Ini bukan hanya soal lewat, tapi terkait fungsi ekonomi. Ketika jalan Tamrin dibuka untuk sepeda motor, maka gojek motor bisa diakses oleh warga, pengantar barang dengan layanan sepeda motor bisa digunakan, dan banyak hal lainnya. Ini bukan cuma akses jalan, tapi juga akses ekonomi.

Ketiga, design Jakarta Jangka panjang adalah bagaimana membuat Jakarta maju kotanya, sejahtera dan bahagia warganya. Keberpihakan kepada “orang lemah” agar hidup di Jakarta ada kesetaraan sebagai prioritas dijadikan Anies sebagai pondasi membangun Jakarta yang maju dan bahagia.

Good luck Anies Baswedan. Masyarakat terus menunggu kinerja dan karyamu yang lebih besar lagi. Tidak hanya sebagai Gubernur DKI, tapi juga Gubernur Indonesia. Sebab, Jakarta adalah ibu kota dan wajah negeri ini. Wajah Jakarta adalah wajah Indonesia. Baik buruknya sekarang ada di tanganmu. Jadikan kepala daerah yang lain bisa belajar dan menjadikan kerjamu sebagai referensi membangun di seluruh wilayah Indonesia.

TONY ROSYID

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

RELATED ARTICLES

Most Popular