Friday, April 19, 2024
HomeGagasanMengapa Kita Harus Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 Asli?

Mengapa Kita Harus Kembali ke Pancasila dan UUD 1945 Asli?

 

552c1b5b6ea8348e5b8b4567

Jika diibaratkan kapal, maka pemerintahan Jokowi -JK yang berkuasa sekarang ini adalah kapal bocor dan terancam pecah. Pemerintahan ini terbelah dalam kepingan kepingan yang berantakan. Masing-masing orang dalam pemerintahan ini membawa agendanya sendiri-sendiri, berusaha sekuat tenaga merenggut apa saja yang bisa dirampas untuk memperkaya diri, keluarga dan kelompoknya.

Bahkan pemerintahan ini tidak memiliki kesanggupan untuk membagi hasil jarahan, hingga kawan-kawannya sendiri ditikam.‎ Padahal barang jarahan mereka hanyalah remah-remah yang disisakan oleh pihak yang sesungguhnya berkuasa di negeri ini, yakni Kapitalis Global.

Mereka penguasa imperialistik yang sejak awal mulanya mengobrak abrik konstitusi negara melalui Amandemen UUD 1945,  agar memberi jalan bagi langgengnya dominasi dan eksploitasi atas bangsa ini.

Melalui Amandemen UUD 1945, filosofi, ideologi bangsa Indonesia diobrak-abrik untuk menimbulkan perpecahan, ketidakteraturan, ketiadaan hukum, memperlemah‎ kesatuan dan persatuan diantara suku bangsa dan golongan dan meyebarluaskan ketidakpercayaan diantara anggota masyarakatnya.

Ada Tiga Pilar Amandemen UUD 1945 yakni pertama, digantikannya sistem demokrasi perwakilan yang berdasarkan musyawarah mufakat dengan demokrasi liberal yang berdasarkan pada sistem demokrasi langsung dengan mekanisme demokrasi 50%+1. Kedua, dilenyapkannya Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara, lalu mengantikannya dengan memecah kekuasaan dalam cabang cabang kekuasaan yang setara satu sama lainnya, separation of power, untuk menjalankan mekanisme check and balancesKetiga, mengantikan mekanisme sentralisasi kelembagaan politik dan sistem ekonomi, menjadi sistem desentralisasi dan otonomi kekuasaan ke tangan pemerintah daerah.

Masalah Check and Balance

Check and balance adalah suatu kaidah dasar dalam sistem liberalisasi. Check and balance sama dengan hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi atau sama dengan persaingan bebas. Persaingan yang dianggap akan membentuk keseimbangan. Padahal persaingan tidak dapat membentuk keseimbangan. Persaingan menghasilkan dominasi. Persaingan merupakan suatu sistem yang bertumpu pada krisis. Menjadikan krisis sebagai dasar pembentukan keseimbangan baru. Dalam hukum persaingan keseimbangan hanya dapat dibangun dengan memusnahkan sebagian lainnya. Hukum ini berbasis manajemen kontradiksi.

Undang Undang Dasar hasil amandemen memang mendasarkan pada prinsip check and balance. Atas dasar itulah mereka membagi cabang-cabang kekuasaan yang setara, satu dengan lainnya. Dimana masing masing cabang kekuasaan memperjuangkan kepentingannya sendiri sendiri. Berusaha memperbesar kekuasaannya, atau sedikitnya mempertahankan kekuasaannya agar tidak diambil yang lain.

Maka terjadilah pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata, kekuasaan yang mengabdi pada siapa? Pada pribadi, keluarga dan golongan. Check and balance sangat cocok dalam masyarakat individualis, masyarakat yang menjadikan persaingan sebagai alat untuk meraih kemajuan. Menganggap pertentangan sebagai dasar bagi dialektika perubahan.

Pertanyaannya untuk apa saling mem-balace, sementara yang kita perlukan suatu sistem for productivity, for better life. Bukan saling mem-balance. ‎Perbaikan seharusnya menjadi tujuan, perubahan kepada yang lebih baik, lebih maju dalam ekonomi, politik dan sosial budaya serta pergaulan internasional. Bukan pertentangan, bukan keseimbangan kekuasaan, bukan bagi-bagi rata kekuasan.

Lihatlah praktek check and balance dalam sistem kita sekarang, berakhir bukan dengan saling chek dan menimbulkan keseimbangan. Namun yang terjadi “cek-cok”, saling berebut tidak karuan. Menjadikan power di tangan mereka sebagai bargaining untuk mengeruk, merampok kekayaan negara untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Check and balance itu bertumpu pada separation of power dalam cabang-cabang kekuasaan yang setara. Bukan semata-mata Presiden mengawasi DPR. Tapi seluruh cabang kekuasaan trias politica. Kita tidak menganut separation of power semacam itu, tapi distribution of power, dari suatu kekuasaan tertinggi kepada suatu kekuasaan lebih rendah. Kekuasaan lebih rendah itulah yang menjalankan trias politica, tetap tidak saling mem-balance, karena semuanya menjalankan suatu visi dan cita cita bersama yang didistribusikan.

Perhatikan dasar teori check and balance sebagai berikut, “… to get the three branches of government to cooperate, a system of checks and balances was created to achieve a fair separation of powers. The key points: the concept of checks and balances is traced back to the political theory of Montesquieu ;

(1) The legislative branch of the United States checks and monitors the other two branches of government, the executive and judicial, through broad taxing and spending power, budgetting, declaration of war, ratification of treaties and confirmation of judges.

(2) The President exercises a check over Congress through his power to veto bills. The president also appoints judges with the Senate’s advice and consent. He also has the power to issue pardons and reprieves, and as a Commander in Chief has the authority to command the U.S. armed forces. (3) Judicial review in the United States refers to the power of a court to review the constitutionality of a statute or treaty, or to review an administrative regulation for consistency with either a statute, a treaty, or the Constitution itself.

Demikian pula halnya dengan sistem yang dianut dalam masyarakat Amerika Serikat adalah sistem yang berangkat dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mereka. Dasar dari sistem mereka adalah Individualisme, jika disederhanakan lagi adalah tentang kepentingan pribadi lebih utama. Kepentingan masing-masing inilah yang ditransformasikan ke dalam sistem negara. Ringkasnya “Gue Dapat Apa, Lo dapat apa?” Jika ditransformasikan pada bentuk yang lebih tinggi menjadi pembagian kekuasaan yang setara (separation of power) yang dikontrol melalui mekanisme check and balance, mirip seperi pembentukan pasar liberal yang seluruhnya bertumpu pada mekanisme permintaan dan penawaran, membentuk keseimbangan baru yang disebut harga.

Maka penyederhanaan sistem pasti terbelah menjadi dua, mayoritas berkuasa, minoritas tidak berkuasa, penguasa dan opososi. Atau cabang-cabang kekuasaan diposisilkan berhadap-hadapan saling melawan. Itulah yang mereka sebut sebagai check and balance.

Mengapa individualisme dan check and balace ini tidak bisa hidup dalam masyarakat Indonesia? Karena bangsa Indonesia sejak awal mulanya adalah masyarakat kekeluargaan. Bangunan kekeluargaan itulah yang hendak kita bangun. Sistem kita merupakan terjemahan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, nilai yang diyakini oleh bangsa Indonesia, nilai yang diajarkan semua agama yang tumbuh di Indonesia, nilai yang diajarkan oleh orang tua kita. Apa itu? Kebersamaan, kasih sayang, dan tolong-menolong. Itulah nilai yang mengisi hidup kita anak anak Indonesia sejak kita dalam kandungan.

Bentuk negara Indonesia bukanlah sintesa dari suatu kepentingan kelompok-kelompok yang bertarung, bukan konsepsi dari kepentingan individual,  namun sebuah sifat, watak dan bentuk kebersamaan yang telah ada dalam diri masyarakat Indonesia sebelum negara dibangun. Negara Indonesia itu adalah pelembagaan dari cara hidup tolong-menolong, kristalisasi dari semangat rela berkorban, perwujudan dari kasih sayang, dan institutionalisasi dari konsepsi kerjasama, serta strategi musyawarah mufakat‎ dalam menentukan arah, tujuan dan tindakan.

Apa yang hendak kita wujudkan adalah sesuatu yang sesungguhnya hidup dalam sanubari bangsa Indonesia dan menjadi pelajaran yang diajarkan oleh orang orang tua dari setiap individu dan anggota masyarakat dari seluruh suku, bangsa, agama, etnis yang tumbuh di Indonesia.

“Jika kita bisa mambawa nilai nilai kekeluargaan, kerjasama, musyawarah mufakat, semangat tolong-menolong, rela berkorban, kasih sayang, dalam pergaulan kita sehari hari, kepada orang tua kita, keluarga, kerabat, kawan-kawan kita. Mustahil suatu yang hidup dalam diri ini, tidak dapat kita transformasikan ke dalam sistem berbangsa dan bernegara”.

SALAMUDDIN DAENG

Pendiri Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Institut Ekonomi Politik Soekarno Hatta (IEPSH)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular