Friday, March 29, 2024
HomeGagasanMembaca Kasus Fahri Hamzah dari Kacamata Hukum

Membaca Kasus Fahri Hamzah dari Kacamata Hukum

images (16)

Jarang sekali ada kader parpol yang menjabat di legislatif dipecat. Apalagi kasusnya cuma perbedaan pendapat. Karena PAN dan PKS dapat dikatakan satu platform, sesengit apapun perbedaan akan selesai di meja islah. Saya kenal baik Fahri Hamzah dan Muzammil Yusuf. Nyaris saya tak percaya keduanya tak mampu bertemu di meja islah. Pada faktanya, perbedaan pendapat keduanya menghasilkan pemecatan Fahri Hamzah.

Ada dua tafsir dari frasa kata “dipecat”. Pertama, dipecat dari keanggotaan partai. Kedua, dipecat dari jabatan partai. Diberhentikan dari jabatan di DPR, tidak menggunakan frasa kata “dipecat”. Jadi cuma dua kemungkinan tadi yang dialami oleh Fahri Hamzah. Ini yang belum jelas di publik, apakah Fahri Hamzah dipecat dari jabatannya di struktur DPP PKS atau dipecat dari keanggotaan partai PKS.

Tak ada istilah “dipecat dari anggota DPR”. Sebab, pemecatan dari anggota DPR, hanya wewenang sidang paripurna DPR via Dewan Kehormatan mengenai pelanggaran kode etik kedinasan DPR-RI. Pada Kongres Amerika Serikat, kode etik ini, dilengkapi dengan kode perilaku sehingga pemecatan sulit dilakukan. Tercatat hanya dua orang yang dipecat sepanjang sejarah Kongres. Juga tak dikenal istilah recall, melainkan remove. Itu juga kesulitan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyidangkan kasus recall karena MK tak menguasai masalah hukum recall yang hanya ada dianut oleh Jerman. Belanda dan Inggris juga tak mengenal kata recall, melainkan remove. Artinya, remove merujuk hukum Anglo Saxon, bukan Eropa Kontinental.

Kaitannya adalah recall dan remove adalah mekanisme hukum yang berhubungan dengan mekanisme hukum publik versus hukum privat. Parpol adalah hukum privat, bersumber dari hukum privat, yang paling mudah menandainya, sepanjang menggunakan akta notariat adalah hukum privat. Sedangkan jabatan di DPR adalah hukum publik yang bersumber dari hukum publik. Postulatnya, hukum publik berada di atas derajat hukum privat. Dengan kata lain, hukum privat mustahil mengkooptasi hukum publik.

Recall merupakan produksi dari parpol. Sekalipun kemudian diresepsi oleh UU Politik, UU Tatib DPR, dan UU KPU, secara hukum, recall adalah tindakan hukum badan privat parpol. Karena itu hak recall parpol tak mampu melawan hukum publik. Akibat kontroversi kedua hukum itu, maka pada UU Susduk 1999, hak recall “tidak dipakai”, bukan “dihapuskan”. Di sini kesalahan reformasi, tidak menghapuskan hak recall parpol, padahal sudah dinyatakan sebagai “melawan demokrasi”. Maka pada UU Susduk 2003, hak recall dihidupkan lagi. Pada TAP MPR Nomor V Tahun 1999, hak recall hanya dimiliki oleh DPR. Kemudian, ketika pembahasan UU Susduk 2003, berkat konspirasi para ketua umum parpol, hak recall dihidupkan lagi. Sebab, tanpa hak recall, ketua umum parpol berkurang dominasinya terhadap anggota parpol, khususnya terhadap para legislatornya.

Adalah sangat meragukan jika MK menyatakan menguasai penafsiran hak recall dalam perkara-perkara gugatan recall anģgota DPR yang diberhentikan. Pertama, rujukannya secara hukum Eropa Kontinental derivasi negara Jerman setahu saya, belum pernah dilakukan studinya oleh hakim MK. Menafsirkan hukum recall secara rechtsstaat derivat negara Belanda dimana negara ni tak mengenal istilah recall, melainkan remove, turunan dari negara the rule of law, Anglo Saxon (Inggris dan Amerika).

Jika recall ditafsirkan secara Anglo Saxon, postulat hukum publik tidak bisa dikalahkan oleh hukum privat adalah harga mati (final). Misalnya, remove sudah tak pernah digunakan dalam 100 tahun terakhir.

Dapat diambil jargon yang digunakan oleh Presiden John Fiztgerald Kennedy untuk menggambarkan kekuatan hukum publik versus hukum privat. Yaitu, “My loyalty to my party the end, when my loyalty to my country began“. Artinya, loyalitas kepada partai selesai, ketika loyalitas kepada negara dimulai.

Pertama, jika hak recall ditafsir secara Anglo Saxon, segera tabrakan dengan hak azasi manusia (HAM) dan azas demokrasi. Hanya Mahmud MD yang berpendapat recall tidak bertabrakan dengan HAM dan demokrasi. Entah memungut ilmu dari mana dia.

Kedua, sebenarnya perlu sekali didengar pendapat Yusril Ihza Mahendra, sebab argumen hukum Yusril yang berhasil menghidupkan kembali hal recall parpol merujuk kasus perpecahan Partai Bulan Bintang. Kembali ke kasus Fahri Hamzah, postulatnya belum berubah. Ia hanya bisa dicopot keanggotaannya di DPR hanya jika ia dipecat dari anggota partai PKS. Dengan demikian modusnya adalah pelanggaran AD/ART partai. Yaitu murni tindakan hukum privat yang akan mengalahkan kekuatan hukum publik. Mau diterjemahkan dengan hukum mana?

Ketiga, hak recall juga menunjukkan ketidakadilan luar biasa. Yang di-recall hanya seorang melawan ratusan orang di parpol, dikerubuti oleh DPR, KPU, dan Presiden. Empat lembaga versus satu orang. Dalam posisi hukumnya, pribadi dilindungi oleh HAM melawan institusi negara. Jika tidak, hak anggota DPR dalam melaksanakan tugas publiknya, dikontrol oleh parpol.

DJOKO EDHIE S. ABDURRAHMAN

Direktur Eksekutif LBH DESA

Anggota DPR RI F-PAN 2004-2009

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular