Wednesday, April 24, 2024
HomeGagasanMedia Sosial dan Hilangnya Percakapan Demokrasi

Media Sosial dan Hilangnya Percakapan Demokrasi

ilustrasi (foro: istimewa)
Pemilihan umum 2019 telah usai. Namun keterbelahan masyarakat belum berakhir. Labelisasi cebong versus kampret masih berlangsung. Media sosial riuh dengan postingan dukungan pada pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden masing-masing. Kondisi ini menciptakan polusi informasi dan hilangnya percakapan antar warga negara sebagaimana yang diinginkan dalam demokrasi. Intelektual yang mengambil posisi di tengah menjadi tidak laku dalam algoritma media sosial. Akun anonim dengan postingan demagogis justru mendapatkan tempat dan menjadi bom yang meledakkan hoax dan berita palsu.
Mengapa media sosial yang dianggap oleh mereka yang optimis mampu membuka ruang kebebasan berbicara tetapi di sisi lain justru memperparah keterbelahan masyarakat? Kondisi seperti apa yang menciptakan situasi serba hitam putih tersebut?
Untuk memahami fenomena ini kita mesti melihat cara kerja media sosial. Algoritma media sosial bekerja dalam kerangka untuk menyenangkan penggunanya. Ada proses pembacaan preferensi pengguna sebelum informasi dalam lini masa pengguna diberikan. Oleh karenanya setiap informasi yang muncul dalam lini masa media sosial kita akan menyesuaikan ketertarikan kita sebagai pengguna.
Algoritma seperti ini akan menyeleksi pertemanan kita di media sosial. Mereka yang memiliki pendangan seragam dengan kita akan sering muncul postingannya dalam lini masa kita. Kondisi ini dinamakan filter buble effect. Mereka yang pandangannya tidak sama dengan pandangan kita tidak akan terlihat dalam lini masa kita. Meskipun mereka terhubung dengan kita. Mereka ada dalam daftar pertemanan kita. Maka tidak heran apabila kita merasa bahwa media sosial terasa menyenangkan karena informasi yang kita terima mendukung pandangan awal kita.
Mengapa ini berbahaya? Informasi yang seragam menciptakan bias konfirmasi. Yang ada hanya pembenaran dari asumsi. Objektivitas dan penerimaan terhadap pandangan yang berbeda menjadi hilang. Kita kehilangan kesempatan untuk melakukan percakapan beragam persepektif dalam dunia virtual seperti ini.
Mereka yang berbeda akan dilabel dengan cebong atau kampret. Mereka yang objektif dan berusaha berada di tengah akan dituduh kampret ketika pandangannya menguntungkan kubu Prabowo. Sebaliknya, mereka akan dianggap “cebong” ketika pandangannya menguntungkan kubu Jokowi. Labelisasi hitam putih ini tidak konstruktif dalam menciptakan percakapan antar warga negara.
Semua upaya untuk menggali dan mencermati isu-isu publik akan dipenuhi dengan interupsi berbasis perkubuan. Pembingkaian cebong vs kampret pada gilirannya akan menenggelamkan fungsi ruang publik dalam demokrasi deliberatif.
Proses argumentasi dan diskusi digantikan dengan perang tagar di lini masa Twitter. Selain konten yang singkat tanpa ruang pendalaman, anonimitas juga menghilangkan tanggung jawab moral penggunanya. Pada kenyataannya perang tagar juga diwarnai dengan penggunaan akun bot dan trik-trik rekayasa dalam menaikkan tagar. Proses munculnya trending topic tidak secara organik merepresentasikan asprasi warganet. Ada kepalsuan di dalamnya.
Apabila kita mengamati perang tagar di lini masa Twitter, yang ada hanyalah perseteruan antara dua kubu. Satu peristiwa yang sama akan dibingkai dalam kaca mata untung dan rugi oleh kedua kubu dengan tagarnya masing-masing. Apa yang bisa kita dapatkan dari perseteruan tanpa kedalaman seperti ini? Lalu apa yang mesti dilakukan? Pertama, dari sisi kuantitas calon presiden, apabila hanya ada dua calon presiden, maka polarisasi akan semakin tajam. Apalagi jika kedua calon presiden tersebut dicitrakan merepresentasikan dua kubu yang secara diameteral berbeda. Maka ke depan presidential treshold sebesar 20% harus dipertimbangkan kembali. Keberagaman calon akan mengurangi polaritas antar pendukung.
Kedua, dan ini yang jarang dibahas, perusahaan media sosial harus ikut andil dalam menyelesaikan permasalahan ini. Di Jerman, negara memberikan sanksi kepada perusahaan media sosial apabila membiarkan penyebaran berita palsu dan hoax. Pemerintah mestinya mendorong media sosial untuk mengubah algoritmanya dari yang sekedar menyenangkan penggunanya menjadi algoritma yang mengijinkan terjadinya percakapan publik.
Harus diakui media sosial mengambil keuntungan dari bisingnya lini masa kita. Belum lagi iklan yang mereka dapatkan dari proses kampanye. Maka tidak adil apabila perusahaan media sosial berlepas tangan dari hal ini. Media sosial bisa dengan segera memblokir akun-akun bot yang menjadi agen persebaran berita palsu tanpa harus memberangus kebebasan berpendapat.
Ketiga, dari sisi pers, media harus mendorong platform media logika jangka panjang seperti Tirto, yakni jenis berita panjang, mendalam, cover both sides, dan penuh data. Jenis pers seperti ini akan mengaktifkan percakapan warga negara dalam demokrasi. Banyak media yang terjebak pada motif profit belaka dan mengabaikan prinsip jurnalistik.
Berita-berita dengan judul bombastis dan click bait mewarnai platform berita hari ini. Pers ke depan harus mendorong platform media berlogika jangka panjang. Dengan begitu pembaca juga akan mengikuti dengan sendirinya. Apabila media alternatif dengan logika masih sedikit, maka jangan salahkan warganet apabila pilihan terbanyak masih jatuh pada portal berita click bait.
Keempat, literasi media menjadi penting adanya. Pemerintah selama ini masih membanggakan perluasan jaringan infrastruktur digital atau “tol langit”nya. Padahal tanpa perluasan literasi digital, hal tersebut justru menjadi perluasan hoax dan polarisasi masyarakat. Maka literasi digital ini menjadi pekerjaan tersendiri karena hoax pada kenyataanya tidak hanya menimpa mereka yang berpendidikan rendah. Mereka yang lulusan kampus pun terkadang terhanyut dalam algoritma media sosial yang bias konfirmasi.
Karenanya, literasi media ke depan difokuskan pada penanaman cara berfikir kritis dan disiplin verifikasi. Masyarakat digital harus terbiasa kritis terhadap informasi dan verifikasi fakta yang disuguhkan kepada mereka. Agaknya hal ini tidak akan berjalan efektif tanpa perubahan fundamental pada sistem pendidikan di Indonesia yang lebih menekankan pada aspek hafalan tanpa mengasah ketajaman dalam berfikir. Maka agenda ke depan tidak hanya milik kementerian komunikasi dan informatika, tetapi juga kementerian pendidikan dan jajarannya. Sinergi antar kementerian menjadi lebih penting ke depannya.
Revolusi digital telah menghadirkan lanskap baru dan masalah baru. Untuk itu kita mesti memperbarui cara pandang kita sehingga bisa menciptakan solusi yang relevan dengan keadaan hari ini. Tanpa itu semua kita seperti manusia yang lahir di masa lalu dan tergagap dengan masalah di era sekarang.
GRIENDA QOMARA
Peminat Kajian Politik Digital, Tinggal di Jakarta

 

RELATED ARTICLES

Most Popular