Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanInpres Saja Tak Cukup Pak Jokowi

Inpres Saja Tak Cukup Pak Jokowi

 

Setelah empat gelombang gempa besar yang beruntun terjadi di Pulau Lombok dan terakhir berdampak parah di Pulau Sumbawa, pada 23 Agustus 2018, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Percepatan Rehabilitasi Dan Rekonstruksi pasca bencana gempa bumi di Kabupaten Lobar, KLU, Loteng, Lotim, Kota Mataram dan wialyah terdampak di Provinsi NTB.

Awalnya saya berharap regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah akan memadai. Harapan itu mesti tercermin dalam politik kebijakan dan anggaran pemerintah yang memuat dengan jelas struktur kerja, penanggungjawab penanganan; alokasi, besaran dan sumber pembiayaan anggaran, serta kejelasan waktu dan rencana kerja penanganan dampak gempa di Pulau Lombok dan Sumbawa.

Dalam hampir satu bulan Lombok dan Sumbawa digoncang gempa, semua mata melihat bagaimana sistem kerja penanganan gempa. Tanpa mengurangi penghargaan dan apresiasi kepada seluruh pihak baik pemerintah, swasta dan solidaritas masyarakat dari seluruh Indonesia, namun manajemen penanganan masih belum berjalan dengan baik. Hal tersebut terlihat dalam tahap tanggap darurat kemaren, adanya protes warga, bantuan yang tak tersebar secara merata, adanya kelompok masyarakat yang merasa belum diperhatikan dan lain sebagainya adalah akibat dari manajemen penanganan yang kurang terkordinir dengan rapi. Permasalahan krusial lain yang akan terjadi adalah di masa pemulihan, tanpa manajemen dan sistem kerja yang sistematis dan terorganisir akan sangat berbahaya bagi mental psikologi korban. Sistem dan manajemen kerja inilah ruang nyata tugas pemerintah, tidak hanya untuk memastikan proses rekonstruksi dan rehabilitasi berjalan dengan baik, tapi juga untuk mengolah solidaritas dan empati masyarakat sebagai modal sosial terbesar yang dimiliki oleh bangsa ini.

Atas Inpres yang telah diterbitkan oleh presiden. Saya punya beberapa catatan sebagai berikut:

1. Politik kebijakan Presiden yang hanya mengeluarkan putusan berupa Instruksi Presiden adalah catatan yang harus digaris bawahi karena hal tersebut menujukkan tingkat keseriusan pemerintah pusat dalam menangani gempa Lombok Sumbawa. Status Instruksi Presiden hanyalah dalam rangka memberikan landasan legal kepada kementerian untuk mengelola program regulernya dalam menangani gempa Lombok Sumbawa. Tak ada struktur komando tunggal, empat Menko akan bekerja dengan irama dan dan nada birokrasi normal, demikian dengan kementerian akan bekerja dalam garis kordinasi normal. Artinya Inpres yang baru ditandatangani oleh Presiden Jokowi tersebut hanyalah memuat daftar dan pembagian kerja melalui birokrasi normal, bukan melalui “birokrasi bencana” yang bisa menembus barier normatif birokratik untuk bisa mengakselerasi proses pemulihan.

Sikap terhadap bencana Lombok Sumbawa ini berbeda dengan politik kebijakan pemerintah dalam menangani gempa Aceh dan Jogja. Presiden SBY mengeluarkan Perppu Nomor 2 tahun 2005 Tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Kepres No. 9 Tahun 2006 Tentang Tim Kordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Jogja. Dasar regulasi yang dikeluarkan Presiden Jokowi dalam gempa Lombok Sumbawa yang hanya sebatas Inpres yang artinya hanya mengkonsolidasi program reguler yang ada dikementerian tanpa ada struktur khusus, sumber pembiayaan jelas, dan target kerja sebagaimana dalam Perppu Aceh dan Kepres Jogja menjadi penanda tingkat keseriusan pemerintah dalam memberi perhatian pada pemulihan Lombok Sumbawa.

2. Instruksi Presiden 5/2018 ditujukan kepada 31 pihak terdiri dari 25 unsur kementrian/lembaga, dan 6 unsur pemerintah daerah yang terdiri dari pemerintah provinsi NTB beserta 5 bupati/walilkota sepulau Lombok.

Tidak disebutnya Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat secara ekplisit dalam Inpres ini mencipta protes keras dari masyarakat korban gempa di wilayah tersebut. Hampir tiap jam Saya mendapat laporan protes dari masyarakat NTB karena gempa 6.9 SR tanggal 19 Agustus justru memiliki daya rusak besar di dua kabupaten tersebut. Padahal Inpres dikeluarkan 4 hari pasca 2 Kabupaten di Pulau Sumbawa tersebut liuluh lantah. Meski Saya menangkap bahwa Pemerintah tidak sedang mengesampingkan wilayah terdampak gempa lain di NTB, namun psikologi bencana membuat masyarakat sensitif dan merasa dianaktirikan.

Dari keterangan Posko BPDB per 22 Agustus 2018, kita dapatkan informasi gelombang gempa yang terakhir pada 19-20 Agustus, menyebabkan 7 korban meninggal dunia di Sumbawa dan KSB, 62 orang luka-luka, dan diperkirakan 6.236 rumah rusak. Saya berharap pemerintah memiliki sensitifitas yang tinggi dalam membuat klausul kebijakan mengingat psikologi bencana membuat perasaan masyarakat dan korban sangat sensitif.

3. Inpres 5/2018 tidak menjangkau 3 unsur kementrian/lembaga yang hemat saya, penting untuk dilibatkan. 3 unsur kementrian tersebut adalah Kementrian Desa, BAPPENAS dan Kementrian Pariwisata.

a. Peran Kementrian Desa sangat penting karena lokasi gempa berada di wilayah-wilayah desa di Pulau Lombok-Sumbawa. Dari pemantauan yang Saya lakukan bersama tim, kita jumpai beberapa desa berinisiatif untuk menggunakan alokasi dana di desanya untuk menangani dampak gempa. Melibatkan pemerintahan desa sangatlah penting, Desa adalah “unit terkecil” negara. Mereka memang korban, namun sebagai korban mereka memiliki “daya tahan” untuk bangkit dan terlibat aktif. Disinilah letak peran penting Kementrian Desa bersama Kementrian Dalam Negeri, untuk memberikan regulasi dan kepastian pada aparatur desa untuk bertindak pada wilayah kewenangannya.

b. Yang juga terabaikan dalam Inpres ini adalah Kementrian Pariwisata. Dalam berbagai keterangan, salah satu alasan ditolaknya status bencana nasional adalah karena mengingat dampaknya bagi pariwisata. Secara faktual, wisatawan pada pusat-pusat gempa telah pergi digantikan oleh relawan yang datang. Memang hal ini akan memberikan tekanan bagi sektor pariwsata NTB karena sektoe pariwisata ini menggerakkan sektor ekonomi lainnya.

Disisi pemerintah daerah, utamanya pemerintah kabupaten, akan ada tekanan pada pendapatan asli daerah, karena pajak hotel, pajak restoran dan sumber-sumber PAD lainnya tertekan. Disisi masyarakat, mereka kehilangan pekerjaan, kehilangan rumah tinggal. Ada ancaman kemiskinan dan pengangguran yang bertambah.

Maka dalam rencana kerja pemulihan, Kementerian Pariwisata harus terlibat aktif mengambil bagian secara serius dengan time table dan alokasi anggaran yang jelas. Karena bukan hanya rumah dan infrastruktur yang mesti direkonstrukai dan rehabilitasi, tapi yang juga perekonomian NTB yang harus dipulihkan. Dan salah satu income terbesar NTB datang dari sektor pariwisata. 400 ribu pengungsi jika kehilangan sumber-sumber ekonomi dan titik produktifnya akan berkembang menjadi permasalahan yang serius bagi ekonomi NTB.

c. Saya juga merasa aneh Kementerian Bappenas tidak dilibatkan. Jika kita menganggap pemulihan Lombok-Sumbawa ini akan panjang, maka peran Bappenas sangat penting dalam mengintegrasikan langkah-langkah penanganan dalam perencanaan panjang yang lebih solid. Penanganan gempa Lombok-Sumbawa mesti menjadi nomenklatur khusus dalam perencanaan nasional. Mesti dan harus.

Saya mencoba membandingkan pengalaman penanganan bencana semasa pak SBY di Aceh dan Yogya. DI Yogya, seluruh kerja kementrian diintegrasikan dalam Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi yang dikomandani langsung oleh Menko Perekonomian dengan wakil MenkoKesra. Gubernur DIY dan Jateng menjadi semacam ketua pelaksana.

Semua dihimpun dalam satu struktur kerja tersendiri, bukan dalam birokrasi normal. Jadi setiap keluh kesah terkait penanganan gempa Yogya, alamat dan tagihannya jelas.

Begitupun dengan penanganan pada dampak Tsunami Aceh, pada waktu itu, Presiden SBY menerbitkan Perpu No 2 Tahun 2005 tentang BRR yang menangani Aceh dan Nias. Presiden SBY merespon Aceh dengan Perpu BRR. Alokasi sumber dana dan sumber dayanya lebih spesifik. Dalam Kepres Yogya dan Perpu Aceh, kita temukan “kepastian” birokrasi, dan “kejelasan” koordinasi.

Diluar soal kelembagaan penanganan pasca gempa. Yang juga mesti diperhatikan soal alokasi pembiayaan. Untuk tahun anggaran 2018, tidak ada APBN Perubahan. Provinsi NTB juga belum mengesahkan APBD Perubahan, begitu juga dengan kabupaten/kota terdampak. Sumber pembiayaan ini mesti diperhitungkan secara serius. BNPB menaksir, kerugian 7,7 Triliun. Sebagian yang lain menaksir lebih besar.

Menteri Keuangan dengan cepat menyebutkan telah mempersiapkan anggaran 4 T untuk pemulihan Lombok, padahal dana tersebut adalah dana On Calling standby bencana alam yang diperuntukkan untuk menangani bencana di seluruh wilayah Indonesia dalam satu tahun. Jika anggaran tersebut sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat diperuntukkan khusus untuk NTB, maka negara akan collaps menangani jika terjadi bencana di wilayah lain sampai akhir tahun ini.

Belakangan akhirnya Menkeu menyebutkan angka 985,8 Milyar yang telah dicairkan. Dan ada 3,3 Triliun dana cadangan bencana yang juga bisa dioptimalkan jika dibutuhkan. Dari 3,3 Triliun itu, berapa untuk Lombok-Sumbawa? Kita masih belum mendapatkan kepastian.

Kehadiran negara mutlak diperlukan untuk memberikan kepastian, dan Saya bersama rekan rekan di DPR akan berusaha untuk membuat jelas beberapa kekaburan itu. Kita percayakan pemerintah bekerja sembari terus memberi masukan dan pengawasan demi kebaikan bersama. Dan akhirnya untuk warga terdampak gempa Lombok-Sumbawa, tetap semangat membangun mimpi, masa depan kita dan negara ini berada di tangan kita. Kembali optimis membangun mimpi untuk masa depan, negara dan pemerintah tidak akan pernah absen untuk hadir bersama jeritan tangis warga, asalkan disana asa tetap dijaga, optimisme tetap dirawat. Hancur lebur kita bangkit kembali.

Makkah, 25 Agustus 2018

 

FAHRI HAMZAH

Wakil Ketua DPR RI

RELATED ARTICLES

Most Popular