Friday, March 29, 2024
HomeGagasan55 Tahun Harian Kompas dan Kenangan Bersama Jacob Oetama

55 Tahun Harian Kompas dan Kenangan Bersama Jacob Oetama

 

Harian “Kompas” merayakan hari ulang tahunnya yang ke-55, Minggu, 28 Juni 2020. Setiap 28 Juni, para petinggi Kompas Gramedia (KG) melakukan ziarah ke makam salah seorang pendiri koran Kompas, PK Ojong.

Awal penerbitan harian “Kompas” awalnya datang dari Jenderal Ahmad Yani, yang mengutarakan keinginannya kepada Frans Xaverius Seda (Menteri Perkebunan dalam Kabinet Soekarno) untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen. Frans kemudian mengemukakan keinginan itu kepada dua teman baiknya, Peter Kanisius Ojong (Tionghoa: Auwjong Peng Koen) (1920-1980), seorang pimpinan redaksi mingguan “Star Weekly,” dan Jakob Oetama, wartawan mingguan “Penabur” milik gereja Katolik, yang pada waktu itu sudah mengelola majalah “Intisari” ketika PT. Kinta akan mengalami kebangkrutan yang terbit tahun 1963. Ojong langsung menyetujui ide itu dan menjadikan Jakob Oetama sebagai editor “in-chief” pertamanya.

Pada tahun 1964, Presiden Soekarno mendesak Partai Katholik untuk mendirikan media cetak berbentuk surat kabar, maka dari wartawan bulanan “Intisari” inilah sebagian wartawan Katolik direkrut. Selanjutnya, beberapa tokoh Katolik tersebut mengadakan pertemuan bersama beberapa wakil elemen hierarkis dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI): Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik. Mereka sepakat mendirikan “Yayasan Bentara Rakyat”.

Susunan pengurus pertama dari Yayasan Bentara Rakyat adalah Ignatius Joseph Kasimo (ketua Partai Katolik) sebagai ketua, Frans Seda sebagai wakil ketua, Franciscus Conradus Palaoensoeka sebagai penulis pertama, Jakob Oetama sebagai penulis kedua, dan P.K. Ojong sebagai bendahara. Dari yayasan tersebut, harian ini mulai diterbitkan.

Edisi perdana harian ini memuat karya terjemahan tentang bintang layar perak Marilyn Monroe, pengalaman perjalanan Nugroho Notosusanto, seorang ahli sejarah dari Universitas Indonesia, ke London, Britania Raya, dan kisah Usmar Ismail, sutradara film kenamaan, ketika pertama kali membuat film.

Pada awal penerbitannya, Frans Seda disarankan oleh Jenderal Ahmad Yani agar “Kompas” memberikan wacana untuk menandingi wacana Partai Komunis Indonesia (PKI) yang berkembang pada saat itu. Namun secara pribadi, Jacob Oetama dan beberapa pemuka agama Katolik seperti Monsignor Albertus Soegijapranata dan I.J. Kasimo tidak mau menerima begitu saja, karena mengingat kontekstual politik, ekonomi dan infrastruktur pada saat itu tidak mendukung.

Tetapi, tekad Partai Katolik menerbitkan surat kabar sudah final. P.K. Ojong dan Jakob Oetama ditugaskan membangun perusahaan. Mulailah mereka bekerja mempersiapkan penerbitan surat kabar baru, corong Partai Katolik. Tapi, suhu politik yang memanas saat itu membuat pekerjaan mereka bukan perkara yang mudah. Rencananya, surat kabar ini diberi nama “Bentara Rakyat”. Menurut Frans Seda, PKI tahu rencana itu lantas dihadang. Namun, karena Bung Karno setuju, maka jalan terus hingga izinnya keluar. Frans Seda mengacu pada PKI yang merupakan salah satu partai besar di Indonesia pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, serta PKI memenangkan tempat keempat dalam pemilihan umum 1955.

Izin sudah dimiliki, tetapi “Bentara Rakyat” tidak kunjung terbit. Rupanya rintangan belum semuanya berlalu. Masih ada satu halangan yang harus dilewati, yakni izin dari Panglima Militer Jakarta yang pada saat itu dijabat oleh Letnan Kolonel Dachja. Dari markas militer Jakarta, diperoleh jawaban izin operasi keluar apabila syarat 5.000 tanda tangan pelanggan terpenuhi. Akhirnya, para wartawan pergi ke pulau Flores untuk mendapatkan tanda tangan tersebut, karena memang mayoritas penduduk Flores beragama Katolik.

Nama “Bentara” sesuai dengan selera orang Flores. Majalah “Bentara,” katanya, juga sangat populer di sana. Ketika akan menjelang terbit petama kalinya, Frans Seda melaporkan pada presiden Soekarno tentang persiapan terbitan perdana harian tersebut. Namun, dari Presiden Soekarno inilah lahir nama “Kompas” yang berarti adalah penunjuk arah. Akhirnya berdasarkan kesepakatan redaksi pada saat itu, untuk menerima usulan dari Presiden Soekarno untuk mengubah nama harian “Bentara Rakyat” menjadi “Kompas.” Atas usul Presiden Soekarno, namanya diubah menjadi “Kompas.” Menurut Bung Karno, “Kompas” berarti pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba.

Setelah mengumpulkan tanda bukti 3000 calon pelanggan sebagai syarat izin penerbitan, akhirnya “Kompas” terbit pertama kali pada tanggal 28 Juni 1965 di Jakarta.

Pada mulanya kantor redaksi “Kompas” masih menumpang di rumah Jakob Oetama, kemudian berpindah menumpang di kantor redaksi Majalah “Intisari.” Pada terbitan perdananya, “Kompas” hanya terbit dengan empat halaman dengan iklan yang hanya berjumlah enam buah.

Selanjutnya, pada masa-masa awal berdirinya (1965) koran “Kompas” terbit sebagai surat kabar mingguan dengan 8 halaman, lalu terbit 4 kali seminggu, dan hanya dalam kurun waktu dua tahun telah berkembang menjadi surat kabar harian nasional dengan oplah mencapai 30.650 eksemplar.

“Kompas” edisi pertama dicetak oleh P.N. Eka Grafika, milik harian “Abadi” yang berafiliasi pada Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Tepat 28 Juni 1965, “Kompas” mulai diterbitkan untuk pertama kalinya dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat.” Berita utama pada halaman pertama berjudul “Konferensi Asia-Afrika II Ditunda Empat Bulan.” Sementara Pojok kanan bawah mulai memperkenalkan diri dengan kalimat “Mari ikat hati. Mulai hari ini, dengan Mang Usil”. “Kompas” sebuah surat kabar harian pertama kali yang terbit di Jakarta sejak 28 Juni1965, maka sejak itu, setiap tanggal 28 Juni dijadikan hari lahir “Kompas.”

Di halaman pertama pojok kiri atas, tertulis nama staf: Pemimpin Redaksi Jakob Oetama; Staf Redaksi J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, Marcel Beding, Th. Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon Prabawa, dan Eduard Liem. Menurut Jakob Oetama, nama P. K. Ojong ketika itu tabu politik. Lagipula, figur Ojong tidak disukai Soekarno.

Dalam kontekstual politik pada saat itu untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Pagi hari 30 September 1965, tepat tiga bulan usia “Kompas,” sebagian besar warga Jakarta terlelap dalam tidur pulasnya, ketika sekelompok tentara bersenjata menangkap beberapa jenderal yang dituduh terlibat dalam Dewan Jenderal. Peristiwa ini mengubah jalannya republik. Sejarah mencatat, sebagai upaya perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Soekarno. Seperti beberapa harian yang terbit bersama dengan “Kompas,” mereka tidak terlepas dari upaya untuk memberikan tandingan kepada pers yang berafiliasi dengan ideologi kiri seperti PKI, dan harian yang dituduh tidak revolusioner lainnya.

Sehari setelah peristiwa itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba yang tengah mendapat giliran tugas malam, diberi tahu pihak percetakan bahwa “Kompas” beserta surat-kabar lain tak boleh terbit. Hanya harian “Angkatan Bersenjata,” Berita Yudha,” kantor berita “Antara,” dan “Pemberitaan Angkatan Bersenjata” yang diperbolehkan menyiarkan berita. Larangan untuk tidak naik cetak tersebut dikeluarkan oleh pihak militer Jakarta. Dalam surat perintah itu disebutkan “dalam rangka mengamankan pemberitaan yang simpang-siur mengenai pengkhianatan oleh apa yang dinamakan Komando Gerakan 30 September atau Dewan Revolusi, perlu adanya tindakan-tindakan penguasaan terhadap media-media pemberitaan.

Ketika itu, Agus Parengkuan dan Ponis Purba tetap yakin “Kompas” tak perlu dilarang terbit. Alasannya, “Kompas” sudah mengecam pemberontakan, dan di dalam lay out sudah disiapkan bahwa Kompas edisi 2 Oktober juga memuat pernyataan sikap dari Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana RE Martadinata.

Penyerangan terhadap PKI ternyata tak menyelamatkan “Kompas.” Koran itu baru boleh terbit lagi pada 6 Oktober 1965.

Bertemu Jacob Oetama

Adalah menggembirakan, bahwa saya bisa bertatap muka langsung dengan Jakob Oetama dan beliau bersedia menulis “Sekapur Sirih” dalam buku yang saya tulis: “Catatan Rais Abin Panglima Pasukan Perdamaian PBB di Timur Tengah 1976-1979” (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, September 2012).

Meski sebelumnya, saya juga sering bertatap muka secara tidak langsung, karena bekerja pernah di Biro Jakarta Pers Daerah/Persda Kelompok Harian Kompas dari tanggal 15 Maret 1989 s/d 17 Juni 1990 dan kemudian ke Palembang di harian “Sriwijaya Post ,” dari 1990 hingga 15 September 1991.

Pada hari Kamis, 26 Juli 2012, saya diberitahu Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin agar saya datang ke Kantor Kompas karena beliau akan bertemu Jakob Oetama di lantai VI Gedung Kompas, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta. Di saat itulah saya diajak Letjen Rais Abin bertemu Jakob Oetama.

Selama ini, kita mengenal Jakob Oetama, selain sebagai salah seorang yang ikut mendirikan harian “Kompas,” ia juga adalah orang yang sangat konsisten dengan tugasnya sebagai wartawan. Waktu itu saya bertemu, ia merupakan Presiden Direktur Kelompok Kompas-Gramedia.

Pada waktu pembicaraan ini, Jakob Oetama ditemani Redaktur Senior Kompas August Parengkuan yang kemudian dipercaya menjadi Duta Besar RI untuk Italia.

Tentang Letnan Jenderal TNI (Purn) Rais Abin, siapa yang tak kenal beliau. Berbicara perdamaian Timur Tengah antara Mesir dan Israel dengan disepakatinya Perjanjian Camp David, tahun 1979 tak seorang pun menyangka bahwa perdamaian itu bisa terselenggara berkat laporan Rais Abin kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) yang dijabat Kurt Waldheim.

Rais Abin bukanlah berkewargaan negara asing. Dia putera bangsa yang lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Bukittinggi, Sumatera Barat, 15 Agustus 1926. Membawahi beberapa negara asing merupakan sebuah kebangaan bangsa ini. Hingga sekarang belum ada yang menandingi jabatan beliau sebagai Panglima Pasukan Perdamaian PBB.

Kembali ke pertemuan di Gedung Kompas, pada saat itu jabatan Rais Abin adalah Ketua Umum Legiun Veteran (LVRI).

Pulang dari barian “Kompas” saya diajak semobil dengan Rais Abin. Di perjalanan beliau banyak cerita tentang Veteran. “Bung,” ujarnya, “… hari Selasa sore kemarin (24 Juli 2012), saya bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden. Ya, sekalian melaporkan akan mengadakan Kongres bulan Oktober,” jelasnya lagi.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular