Wednesday, April 24, 2024
HomeGagasanHari Tani Nasional: Nasib Tragis Di Negeri Agraris

Hari Tani Nasional: Nasib Tragis Di Negeri Agraris

hari tani nasional cakrawarta

Tanggal 24 September ditetapkan sebagai pengingat bahwa pada tanggal itu tahun 1960, Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960). Undang-Undang yang mengatur kepemilikan pribadi atas tanah dan pembatasan kepemilikan tanah, sehingga bisa tercipta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Negeri yang luar biasa kaya akan sumber daya alam, tanahnya subur makmur, gemah ripah loh jinawi, dikenal sebagai negeri agraris, Indonesia. Ironisnya, semua itu tinggalah mimpi karena sebagian besar yang dahulu masyarakatnya hidup bercocok tanam, sebagai petani, diatas tanah miliknya sendiri, mulai beralih profesi. Sedikit demi sedikit tanahnya mulai dijual, karena hasil dari bercocok tanam tak lagi dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tingginya biaya bercocok tanam, mulai dari harga bibit, harga pupuk, makin tidak sebanding dengan hasil dari bercocok tanamnya. Tingginya biaya hidup di Indonesia, makin menambah parah keadaan. Mulai dari harga sembako yang tinggi, bahkan atas hasil produksinya sendiri, mereka tak dapat lagi menikmati. Lalu biaya pendidikan bagi putra-putri petani yang sedang berada dalam jenjang pendidikan juga menjadi persoalan. Ditambah biaya kesehatan yang juga mahal, kenaikan tarif dasar listrik, kenaikan harga bahan bakar minyak, tentunya makin menambah persoalan yang mereka hadapi. Dengan sangat terpaksa, mereka pun menjual tanah miliknya, untuk memenuhi segala macam kebutuhan hidupnya. Sehingga mereka yang pada awalnya menjadi petani penggarap tanahnya sendiri, menjadi buruh tani, di perusahaan-perusahaan penanaman modal asing atau bisa juga pada pemilik lahan luas yang mereka kenal. Yang paling tragis tentu saja, para petani pemilik lahan yang juga rakyat Indonesia sering kali harus berhadapan dengan pemerintahnya sendiri, ketika pemerintahnya mengambil alih lahan miliknya dengan berbagai alasan. Mulai dari pembangunan infrastruktur: jalan tol, pabrik-pabrik, bandara, dan yang lainnya. Apakah pemerintah berlaku adil pada saat mengambil alih lahan miliknya? Belum tentu, mari kita bahas lebih lanjut. Apakah ada penggantian hak? Jawabnya, iya ada. Namun dalam proses penggantian hak atas tanah tersebut seringkali juga terjadi tindak kekerasan bahkan tidak sedikit petani yang kehilangan nyawanya hanya karena mempertahankan haknya atas tanah. Di Sumatera, Di Jawa, hampir di seluruh Indonesia, hal tersebut terjadi. Kasus terbaru di Majalengka, dimana petani harus berhadapan dengan keganasan aparat ketika mereka hendak mempertahankan tanahnya yang akan dijadikan proyek bandara oleh pemerintah. Di Rembang-Kendeng, lagi-lagi petani juga harus berhadapan dengan keganasan aparat ketika mereka hendak mempertahankan tanahnya yang akan dijadikan proyek pabrik semen oleh PT Semen Indonesia.

Apakah ini adil? Apakah pemerintah berpihak kepada petani? Tentu jawabnya tidak. Siapa yang memiliki banyak uang, tentu saja si pemodal, pasti yang akan didukung oleh pemerintah. Bisa dilihat dari berbagai kebijakan cacat hukum, tidak demokratis, namun proyek tetap saja dilakukan. Sekalipun ada perlawanan petani pemilik lahan yang juga rakyat Indonesia, pemerintah tetap saja tak ambil pusing. Si pemodal juga semakin kuat menancapkan taringnya, menjalankan usahanya. Tidak sedikit pula petani yang sedang berjuang mempertahankan haknya atas tanah, justru mengalami intimidasi, tindak kekerasan bahkan sampai penangkapan penahanan dengan alasan pemberontak, provokator dan melawan pemerintah. Bukannya mengedepankan langkah permusyawaratan, meninjau kembali apakah kebijakan yang dibuat sudah adil, benar dan tepat serta manusiawi, namun justru tindak kekerasan dan jerat hukum yang dilakukan oleh pemerintah untuk meredam perjuangan rakyat dalam mempertahankan haknya atas tanah. Itu hanyalah beberapa contoh kasus yang terjadi di Indonesia saat ini. Dan masih banyak lagi kasus yang terjadi.

Ada payung hukum yang melindungi para petani pemilik lahan yang juga rakyat Indonesia, dari para pemilik modal besar yang hendak merampas tanah miliknya, yaitu Pancasila, UUD 1945 juga UU Pokok Agraria Tahun 1960. Namun semua itu seolah tak berguna, tak bernilai apapun, hukum makin runcing ke bawah dan tumpul ke atas. Ketidakadilan jelas terjadi di sini. Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia jelas tidak terwujud. Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, iya dan benar dikuasai oleh negara akan tetapi tidak dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat, tetapi hanya melanggengkan kekuasaan, memperkaya barisan elit politik, barisan pemodal dan golongan.

Itulah fakta yang saat ini terjadi di Indonesia. Suka atau tidak, itulah yang terjadi. Petani hidup tragis di negeri agraris.

Bagaimana bisa ketahanan pangan tercapai kalau lahan pertaniannya banyak yang dialihfungsikan menjadi jalan tol, gedung-gedung, apartemen, bandara, dan yang lainnya. Pembangunan baik dan berguna untuk kehidupan. Tidak menolak tentunya, selama pembangunan tersebut memang untuk kepentingan rakyat berlandaskan pada azas kemanusiaan yang adil dan beradab. Sekali lagi tanpa pemaksaan, tanpa intimidasi, tanpa tindak kekerasan serta mengedepankan permusyawaratan dalam merumuskan kebijakan terkait sebuah proyek yang akan dijalankan.

Jalankan Pancasila, UUD 1945 serta UUPA 1960 dengan sepenuhnya. Buka ruang demokrasi untuk rakyat, barulah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia akan terwujudkan. Kita tidak hidup di negeri dongeng. Indonesia kaya benar adanya, hanya saja ada yang salah dengan sistem yang dijalankan pemerintah saat ini dan itu harus segera diakhiri. Rakyat harus sadar dan berani melawan. Melawanpun tidak bisa sendiri-sendiri, tapi harus menyatukan kekuatan dengan barisan rakyat lainnya, yang mengalami hal yang sama, laki-laki, perempuan, mahasiswa juga elemen rakyat lainnya. Diam hanya akan menambah penderitaan rakyat khususnya kaum petani.

Satu yang harus diingat, kita bukan pemberontak tapi kita berjuang untuk mempertahankan hak, menjaga Indonesia dari kehancuran, dari jarahan para pemilik modal besar.

Selamat Hari Tani Nasional. Hormatku untuk seluruh petani dan kawan-kawan yang berjuang hingga saat ini dimanapun berada. Melawanlah sehormatnya, sehebatnya, selayaknya manusia yang waras pikir. Karena penjajahan, penindasan serta ketidakadilan harus dihapuskan dari bumi manusia ini.

DANIEL ARISANDI
Ketua Relawan Kesehatan (REKAN) Indonesia JawaTimur dan pegiat isu-isu tani

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular