Friday, March 29, 2024
HomeGagasanEkonomi Indonesia Dalam Pandangan Rizal Ramli (1 dari 5)

Ekonomi Indonesia Dalam Pandangan Rizal Ramli (1 dari 5)

Jika kita bicara potensi ekonomi maka itu artinya kita juga harus membicarakan potensi sumber daya alam (SDA) dan potensi sumber daya manusia (SDM). Dan jika diibaratkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini seperti sebuah benang peradaban, maka sepertinya kondisi sekarang ini sudah menjadi sebuah benang kusut. Benang kusut dari persoalan yang berkaitan dengan SDA, berkaitan dengan politik tarik-menarik di tingkat pusat dalam pengambilan kebijakan sampai pada persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari rakyat Indonesia.

Jika benang kusut itu punya 2 (dua) ujung, maka diujung satunya ada potensi ekonomi dan diujung lainnya ada yang namanya kesejahteraan rakyat.

Potensi Ekonomi

Bicara tentang potensi ekonomi maka itu artinya kita bicara tentang potensi SDA dan potensi SDM. Indonesia ini kaya akan SDAnya, tapi faktanya Indonesia belum mendapat hasil yang optimal sehingga belum mampu membuat rakyat dan bangsa Indonesia bahagia”.

Indonesia sebentar lagi akan mendapat bonus demografi, yaitu ketika usia manusia Indonesia produktifnya begitu banyak sehingga memberi harapan dapat mampu menggerakkan ekonomi Indonesia.

Tetapi apakah kedua potensi sumber daya diatas bisa memacu atau mendorong kesejahteraan rakyat Indonesia? Inilah yang menjadi pertanyaan besar kita sekarang.

Kalau kita bicara tentang kesejahteraan rakyat sebenarnya panduannya sudah sangat jelas, yaitu UUD 1945. Tapi UUD 1945 itu kini sudah diubah sejak tahun 2002, bahkan kini kondisi yang carut marut membuat definisi kesejahteraan rakyatnya perlu direvisi?

Dr. Rizal Ramli sebagai pakar ekonomi yang bukan hanya sebagai teoritisi saja tetapi juga sebagai seorang praktisi menguraikan tentang benang kusut tersebut sehingga kita bisa menenunnya menjadi sebuah kain peradaban. Bang RR, demikian dia sering dipanggil oleh para aktifis lintas generasi, menjelaskan persoalan diatas dengan flashback ke masa 40 tahun silam dan kemudian dilanjutkan dengan sebuah pertanyaan.

Empat puluh (40) tahun yang lalu seluruh negara di Asia ini sama miskinnya. Cina bahkan setengah rata-rata GDP per kapita Indonesia yaitu hanya USD 50 dimana GDP per kapita Indonesia saat itu USD 100. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Korea Selatan sudah menjadi negara maju dan Cina sudah diatas kita. Cina bahkan sudah menjadi negara dengan ekonomi paling kuat di dunia. Demikian juga Malaysia dan Vietnam. Ketika pada tahun 2000, Dr. Rizal Ramli diminta oleh PBB untuk melakukan economic review di Vietnam, dia sudah memperhatikan bahwa bangsa Vietnam adalah bangsa yang ulet. Rizal Ramli juga menandai bahwa tidak ada bangsa di dunia kecuali Vietnam yang bisa mengalahkan Perancis secara spektakuler seperti yang terjadi pada tahun 1954 di Dien Bien Phu, Vietnam. Vietnam juga mampu mengalahkan Amerika Serikat hingga terusir dari tanah Vietnam. Hari ini Vietnam dari segi pendapatan telah dekat dengan Indonesia bahkan nilai ekspornya sudah melampaui Indonesia.

Rizal Ramli kemudian melontarkan sebuah pertanyaan, “Mengapa ternyata dalam 40 tahun Indonesia ketinggalan dibandingkan negara-negara raksasa di Asia?”

Rizal Ramli menjelaskan bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas tergantung dari mana kita melihatnya. Jika kita melihatnya secara historis, memang Indonesia ada kemajuan. Dari Orde Lama, kemudian Orde Baru dan kemudian Era Reformasi, pertumbuhan ekonomi rata-rata 6%, tentu saja ada kemajuannya. Tapi sekali lagi, ini dilihat dari kacamata historisTapi, begitu kita menggunakan pendekatan komparatif  (comparative approach) dan perbandingan antar bangsa (negara); maka akan terlihat bahwa kita  (Indonesia) ketinggalan. Penjelasan yang lazim digunakan dan banyak orang yang percaya walaupun penjelasannya itu sangat menyederhanakan persoalan (too simplified) yaitu, bahwa ini semua terjadi gara-gara korupsi.

Lebih lanjut Rizal Ramli menjelaskan bahwa memang betul korupsi itu menghambat pembangunan, harusnya lebih cepat; korupsi merusak karakter bangsa dan lain-lain. Tetapi tidak bisa disederhanakan bahwa “hanya” gara-gara korupsi Indonesia menjadi tidak maju.

Rizal Ramli memberi contoh bahwa di negara lain juga terjadi korupsi dan seperti apa yang terjadi di Korea Selatan dimana beberapa Presidennya masuk penjara karena kasus korupsi. Demikian juga halnya dengan apa yang terjadi di Cina. Walaupun korupsi di Indonesia ini memang luar biasa.

Yang kedua, menteri-menteri Indonesia kurang pintar, kurang hebat. Rizal Ramli menambahkan dalam sebuah kesempatan, “Saya kira itu tidak benar, banyak yang pintar-pintar, professor, doktor…. menteri-menterinya. Nah, ada satu alasan yang jarang diungkapkan dan jarang dibahas…… kita mandek, prestasi kita dibandingkan dengan yang lain (negara-negara lain maksudnya) hanya rata-rata tumbuh 6%, negara lain tumbuh double digit 12%-14% selama 20 tahun. Bukan hanya karena corruption, bukan hanya karena kurang pintar, tetapi karena “School of Thinking”-nya, “Cara Berfikir”-nya yang tidak mungkin membuat Indonesia maju. Karena sejak Pak Harto berkuasa yang hidup itu kebijakan ekonominya namanya yaitu Neo-Liberalisme. Apa itu Neo-Liberalisme? Pokoknya, semua itu dibebaskan lah, serahkan pada kekuatan pasar. ……… Lho, kalau yang kecil diadu sama yang kuat, nggak mungkin yang kecil bisa lebih baik. Neo-Liberalisme itu adalah pintu masuk dari Neo-Kolonialisme yang Sukarno lawan dari dulu, Bunga Hatta lawan. Sukarno katakan hati-hati, kita bisa saja merdeka secara fisik tapi nanti kolonialisme itu akan datang dalam bentuk baru. Tidak perlu senjata, tidak perlu tentara, kuasai saja garis kebijakan ekonomi kita (Indonesia), itu namanya Neo-Liberalisme. Nah, saya mohon maaf,  kebanyakan menteri-menteri kita sejak jaman pak Harto garis kebijakannya itu adalah garis Neo-Liberalisme. Jadi, nggak aneh, sehebat apapun mereka (menteri-menterinya) …… kita nggak usah sebutkan nama…., nggak akan kemana-mana (ekonominya)…”. 

Belajar dari Amerika Latin

Dalam sebuah seminar nasional tentang negara Amerika Latin, Rizal Ramli mengatakan, “Negara-negara yang menganut Neo-Liberalisme, dimulai dari Amerika Latin di tahun 1970-an, 1980-an…. semua ikut garis Bank Dunia dan IMF. Hasilnya apa? Amerika Latin makin lama makin merosot, Tadinya Argentina pada awal abad ke-20 sama makmurnya dengan Eropa. Brazil, ……. makin lama makin miskin….. Elite-nya makin lama makin “super kaya”; Gap yang kaya dengan yang miskin makin besar. Tergantung pada hutang. Walaupun bagus ekonominya tapi harus bayar hutang, makin lama makin merosot. Itulah sebabnya di Amerika Latin sejak tahun 2000-an terjadi arus balik. Siapa yang ikut Neo-Liberalisme tidak mungkin jadi Presiden di Amerika Latin. Memang garisnya ada yang ekstrim seperti Maduro, Hugo Chavez…. tapi ada juga versi yang “ditengah”, yang terjadi arus balik.”

Di Indonesia bagaimana? Rizal mengatakan, “Di Indonesia, sehebat-hebatnya (menteri-menterinya maksudnya), mindset-nya, attitude-nya itu adalah Neo-Liberalisme. Sehingga tidak mungkin pertumbuhan ekonominya tumbuh “double-digit”. Padahal, …… bayangkan kita punya kekayaan alam. Sepuluh tahun selama pemerintahan SBY komoditi luar biasa naiknya……, tapi nggak kemana-mana…, hutangnya tambah besar, …… sumber daya alamnya habis, ….. rakyatnya? Biasa-biasa saja!”

Selain pertumbuhan ekonomi (economic growth) ada indikator yang lazim digunakan di seluruh dunia, alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan yakni Human Development Index atau Indeks Pembangunan Manusia. Dimana diukur rakyat di suatu negara, apakah cukup makan, apakah cukup gizi, apakah ada fasilitas air bersih atau tidak?; kesehatannya bagaimana?; apakah punya akses terhadap pendidikan dan rumah?

Tentang HDI, Rizal Ramli pernah mengatakan, “Jadi tidak cukup Economic Growth (EG) atau pertumbuhan ekonominya saja. Kalau hanya itu (EG) saja, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Yang kaya makin kaya, rakyat tidak kebagian. Harus diimbangi dengan indikator HDI ini.”.

Jika dilihat dari indikator HDI ini ternyata Indonesia menempati urutan yang paling rendah dari 5 (lima) negara-negara ASEAN. “Siapa yang paling tinggi indeks pembangunan manusia-nya di Asean? Pertama, Singapura kemudian pada urutan kedua adalah Malaysia. Makanya tidak aneh, karena indeks kesejahteraan yang tinggi di kedua negara itu maka banyak tenaga kerja Indonesia yang cari kerja di Malaysia dan Singapura. Jika indeks kesejahteraan Indonesia tinggi nggak mungkin orang Indonesia cari kerja disana.”, jelas Rizal Ramli. Urutan HDI yang ketiga adalah Thailand, keempat Filipina dan urutan yang kelima adalah Indonesia.

Nah, ini paralel dengan penjelasan diatas, selain Economic Growth atau pertumbuhan ekonominya tumbuh biasa-biasa saja (tumbuh 5-6%), biasanya Indeks Pembangunan Manusianya (HDI) ketinggalan. Tetapi yang kaya menjadi “Super Kaya”.

“Orang kaya TOP 50 di ASEAN adalah orang Indonesia. Bahkan orang kaya di Singapura itu kebanyakan orang Indonesia. Jadi, selama kita tidak bongkar aliran berfikir ini jangan bermimpi Indonesia sejahtera!”, ungkap Rizal Ramli.

-bersambung-

M.E. IRMANSYAH

Direktur Eksekutif ISDT (Institute for Studies and Development of Thought)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular