Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanDonald Trump, Demokrasi dan Agama

Donald Trump, Demokrasi dan Agama

(Foto: donaldjtrump.com)
(Foto: donaldjtrump.com)

Sangat menarik belajar tentang demokrasi ke Amerika Serikat (AS). Sebagaimana kita tahu bahwa negara kita tercinta juga sudah bulat menjiplak demokrasi ala AS dan membuang Pancasila dalam ruh kehidupannya. Tulisan ini ingin melihat betapa penting agama dalam perebutan pengaruh dari kandidat calon presiden Amerika Serikat saat ini, khususnya dari Partai Republik (GOP).

Mengapa agama? Agama adalah sebuah sumber value bagi masyarakat AS. Pew Research Center merilis landscape agama AS yaitu 70% adalah Protestan dengan mayoritas Evangelical, 20% Katolik dan sisanya lain-lain. Menurut data tersebut orang dewasa, pada 2013, mencakup 43% Protestan dan 22% Katolik. Pada tahun 2013 itu dari jumlah Kongres Amerika Serikat dari total 535 orang anggotanya, 92% nya adalah Kristen.

Di AS, (Pew Research, 2016), kelompok yang mengaitkan agama dengan preferensi politik lebih besar memilih kandidat dari Partai Repubik dibanding Partai Demokrat, masing masing 64% dan 41%. Dalam hal memilih pemimpin yang Ateis, ada 51% yang tidak ingin men-supportnya.

Dalam pemilihan Presiden terdahulu (2012), Demokrat unggul tipis atas Republik, khususnya antara Obama dan Romney. Namun, pada pemilihan House of Representative tahun 2014, Partai Republik memenangkan pertarungan ini.

AS adalah negara besar dengan pendapatan perkapita mencapai 46.000 US Dollar dengan tingkat pendidikan yang sangat tinggi serta memiliki universitas yang unggul dalam 100 besar ranking dunia versi manapun. Bahkan, hampir bisa dipastikan mayoritas nobel ekonomi dan sains disapu bersih oleh ahli dari negara ini.

Maksud pemaparan di atas adalah untuk menunjukkan bahwa hubungan politik, preferensi agama dan orang-orang pintar mempunyai korelasi yang kuat pada masyarakat AS. Bahkan masyarakat elitnya.

Hal ini bertentangan dengan asumsi bahwa sains, teknologi dan kemajuan ekonomi telah memusnahkan pengaruh agama dan sistem kepercayaan sebuah masyarakat. Karl Marx dan Engel boleh menertawakan bahwa agama hanyalah candu yang akan membangun false class conscience (kesadaran palsu), yang membuat kapitalisme dan negara menjadi mudah mengendalikan penindasannya. Ada pula Stave Bruce yang mengatakan teknologi sudah menggantikan agama dalam mencari kebenaran bahkan kelompok pengusung feminisme mengutuk agama sebagai alat penindasan laki-laki terhadap wanita, atau kaum post-modernism yang melihat agama sebagai alat opresif.

Faktanya, di negara super demokrasi ini ternyata agama menempati diri sebagai sesuatu yang sentral.

Dalam pemilu GOP ini, semua kandidat Republik menyatakan dirinya adalah yang paling percaya Tuhan dan paling disayang Tuhannya. Lihatlah beberapa pandangan calon republik ini:

(1): Ben Carson: he asserts that a candidate’s faith (and character) is a more important qualification for the job of president than political experience. (www.motherjones.com)
(2). Rubio: “We’re bound together by common values,” And “faith in our Creator is the most important American value of all.” ( www.religionnews.com )

“Rubio called faith the single greatest influence in my life.”

“Our goal is eternity, the ability to live alongside our Creator for all time. To accept the free gift of salvation offered to us by Jesus Christ,”

“The purpose of our life is to cooperate with God’s plan.”

“The Bible commands us to let our light shine on the world,” Rubio said.

( www.miamiherald.com )

(3) Trump: “I really appreciate the support given to me by the evangelicals,”

“They’ve been incredible. Every poll says how well I’m doing with them. And you know, my mother gave me this bible, this very bible many years ago.” Trump then holds it up, open to the “Holy Bible” title page. “In fact, it’s her writing here,” he adds, as he flips to the first page. “She wrote the name and my address and it’s just very special to me. And, again I want to thank the evangelicals.” Speaking with conviction, he ends with emphasis and impact: “I will never let you down.” (www.huffingtonpost.com)

(4). Ted Cruz: (by his wife Heidi Cruz: ” We are at a cultural crossroad in our country, and if we can be in this race to show this country the face of God that se serve – this Christian God that we serve is the foundation of our country…” (www.alternet.org)

Kita menyaksikan dengan mata kepala saat ini bahwa Donald Trump telah menjadi frontrunner (terdepan) dari semua kandidat Republik, yang saat ini tersisa tiga, Trump, Cruz dan Rubio. Lalu mengapa Trump bisa unggul begitu jauh?

Tentu banyak variabel yang mungkin bisa diajukan. Tapi, dalam konteks esai ini, Kita tahu bahwa peran agama sangat besar, jika tidak dikatakan mutlak. Benarkah?

Pertama, Trump adalah Evangelical. Agama terbesar di Amerika. Sedangkan Cruz dan Rubio masing-masing Southern Baptist dan Katolik. Trump mengekspos dan mengeksplor hal ini. Ini sekaligus menunjukkan keterkaitan dirinya pada agama mayoritas. Meskipun Pew Research menemukan opini bahwa dari semua kandidat ini, Trump adalah yang kurang bagus agamanya.

Kedua, Trump menyerang Islam. Dia mengatakan akan menutup pintu bagi imigrasi orang Islam ke AS. Trump menohok Obama sebagai pemerintah yang lemah untuk melindungi bangsa Amerika dari ancaman Jihadis Islam. Hal ini tentu menjadikan Trump sebagai “pahlawan”, yang akan menjaga Kristen dan orang Amerika dari ancaman yang saat ini digembar-gemborkan media.

Ketiga, Trump melawan Paus Fransiskus yang menuduh dirinya bukan seorang Kristen, terkait rencana Trump membangun dinding perbatasan terhadap Meksiko. Rencana Trump membentengi diri dari imigran Meksiko dan negara-negara Latin tentu dapat diinterpretasikan bahwa di mata Pope, Trump sedang “menyerang” orang-orang Latin yang sesungguhnya mayoritas Katolik. Di mana mereka sangat tergantung dari surplus perdagangan terhadap AS.

Dalam kaitan ini juga, Trump menunjukkan kepada Paus bahwa dirinyalah yang diharapkan Vatikan untuk melindungi mereka dari ISIS.

Ketiga hal di atas membuat Trump yang awalnya tidak begitu diunggulkan dalam kandidat Republik ini, menjadi frontrunner, yang membuatnya mungkin akan bertarung dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun depan.

Melihat analisa di atas, tentu kita bertanya, apakah demokrasi itu seperti yang kita di Indonesia bayangkan, bahwa masalah agama dan identitas tidak perlu dijadikan isu penting? Apakah seorang pemimpin hanya boleh diukur melalui ukuran-ukuran kepemimpinan yang sekuler, yang bebas nilai, yang “modern”? Apakah hanya orang-orang bodoh yang masih menggunakan agama sebagai preferensi dalam memilih pemimpin?

Kenyataannya tidak demikian. Kita membangun demokrasi super liberal dari AS. Sudah selayaknya pula kita mencontoh mereka. Bahwa demokrasi dan agama adalah suatu isu yang bisa sejalan atau bahkan harusnya demikian: agama jadi sentral bagi preferensi memilih pemimpin.

Ini mungkin penting bagi kita melakukan refleksi. Sebagai bangsa yang menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa pada falsafah bangsanya, kita harus membuka diri bagi hadirnya isu keagamaan dalam politik kita. Seperti di AS, kemungkinan agama bisa menjadi sumber kebaikan bangsa.

DR. SYAHGANDA

Asian Institute for Information and Development Studies

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular