Tuesday, March 19, 2024
HomeGagasanCina dan Strategi Perang Asimetris

Cina dan Strategi Perang Asimetris

Dalam kajian strategi dan tata kelola strategis, Perang Asimetris merupakan metode peperangan gaya baru secara non-militer, tetapi memiliki daya hancur tidak kalah hebat bahkan dampaknya lebih dahsyat dari perang militer. Dalam konteks inter-state relations yang menjadi sasaran dari Perang Asimetris ada tiga, pertama, membelokkan sistem sebuah nation-state sesuai arah kepentingan kolonialisme/kapitalisme. Kedua, melemahkan ideologi serta mengubah pola pikir rakyatnya dan ketiga, menghancurkan food security (ketahanan pangan) dan energy security (jaminan pasokan dan ketahanan energi) suatu nation-state dimana selanjutnya menciptakan ketergantungan sang  target terhadap nation-state lain khususnya negara ‘kolonial’. Bentuk Perang Asimetris diantaranya melalui mengubah kebijakan negara-bangsa sasaran dengan ciri non-violence.

Pertanyaannya kini adalah bagaimana modus Perang Asimetris yang sering dilakukan oleh Cina dalam konteks inter-state relations. Sejak memasuki era reformasinya, Cina mengalami masa transformasi dan konvergensi ke arah kapitalisme. Efeknya kemudian adalah Cina melahirkan kebijakan One Country and Two System, yakni sistem negara dengan elaborasi ideologi sosialis/komunis dan kapitalis. Dengan kata lain, model perekonomian boleh saja bebas, sebagaimana kapitalisme berpola mengurai pasar, akan tetapi secara politis tetap dalam kontrol negara (Partai Komunis Cina). Artinya, para pengusaha boleh berada di garda depan membuka ladang-ladang usaha di luar negeri, tetapi ada back up militer (negara) di belakangnya. Itulah titik poin konsepsi One Country and Two System yang kini tengah dijalankan oleh Cina di berbagai belahan dunia.

Karakteristik lain dari Cina dalam menerapkan reformasi politiknya adalah jika kedalam menggunakan dragon approach terhadap rakyatnya. Pendekatan itu ditandai dengan kebijakan-kebijakan yang sangat keras, tegas, bahkan tanpa kompromi demi stabilitas di internal negeri. Ini bisa dilihat bagaimana mereka memperlakukan Tibet dan daerah Xinjiang. Sebaliknya ketika Cina melangkahkan kaki keluar, tata cara diubah menerapkan Panda Approach yang sangat simpatik dan bersahabat. Pendekatan Panda ini dalam bentuk menebar investasi atau bantuan dan hibah dalam wujud pembangunan gedung-gedung, infrastruktur dan lainnya yang tentunya dengan persyaratan “tersirat” nya yang mengikat. Pendekatan Panda  merupakan ruh atau jiwa pada model Perang Asimetris yang sering dikerjakan oleh Cina pada banyak kawasan di dunia seperti Afrika dan kini Asia Tenggara termasuk dalam hal ini Indonesia.

Turnkey Project Management

Turnkey Project Management adalah sebuah model investasi asing yang ditawarkan dan disyaratkan oleh Cina kepada negara peminta dengan sistem satu paket. Ini artinya mulai dari top management, pendanaan, materiil dan mesin, tenaga ahli, bahkan metode dan tenaga (kuli) kasarnya di-drop dari Cina. Modus Turnkey Project ini relatif sukses dijalankan misalnya di Afrika sehingga warganya migrasi besar-besaran bahkan tak sedikit yang menikah dengan penduduk lokal. Mereka menganggap Afrika kini sebagai tanah air keduanya.

Beberapa investasi Cina di Indonesia, sebenarnya telah menerapkan modus ini. Memang bukan barang baru, karena sejak dulu sudah berjalan antara lain pada proyek Sinar Mas (Indah Kiat) ketika membangun pabrik pulp dan paper. Ada pula pembangunan pembangkit tenaga listrik di Purwakarta dimana hampir semua tenaga kerja mulai dari direksi hingga kuli bangunan didatangkan dari negeri Cina. Bahkan pembangunan Lippo Karawachi dekade 1990-an dikerjakan oleh para pekerja Cina, termasuk di Muara Jawa, Kutai Kertanegara, dan lainnya. Demikian juga yang akan terjadi di Medan dimana dikabarkan Cina akan membawa sekitar 50.000 tenaga kerjanya.

Bila investasinya di Medan saja mendatangkan sekitar 50.000-an tenaga kerja dari Cina dan bukan mengambil tenaga kerja Indonesia, lalu berapa warga lagi bakal migrasi melalui investasi Cina pada proyek yang telah dicanangkan pemerintahan Jokowi-JK pada 24 pelabuhan laut, 14 pelabuhan udara dan sekitar 8000-an kilometer jalur kereta api di Indonesia. Hal tersebut tentunya diluar rencana kebijakan pemerintah dalam rangka mempererat hubungan bilateral Cina-Indonesia yang menargetkan pertukaran 10 juta warganya di berbagai sektor pada dekade 2020-an mendatang. Rencana tersebut tentu berpeluang menimbulkan persaingan budaya antara warga pendatang dengan warga lokal. Dampaknya “dinamika sosial” diperkirakan tak terhindarkan karena upaya untuk mempertahankan siapa lebih dominan adalah natural (side) effect, mengingat angka 10 juta jiwa itu bukan jumlah sedikit.

Bila dikaitkan dengan pemahaman Perang Asimetris dan konsep kebijakan One County and Two Systemnya, maka Turnkey Project Manajement pada hakekatnya merupakan model Perang Asimetris sebagai strategi Cina untuk menguasai Indonesia secara non-militer. Secara perlahan memasukkan warganya ke Indonesia, kemudian mendesak keluar warga pribumi Indonesia pada peran di sektor-sektor strategis di Indonesia. Pertanyaan sederhananya adalah apakah Jokowi-JK dan pemerintahannya tidak membaca “skenario” ini sebagai ancaman negara atau justru merupakan bagian dari “skenario” ini. Jawabannya jua sederhana, biarlah rakyat berfikir dan biarkan rakyat memutuskan untuk menjawabnya selaku pemilik kedaulatan tertinggi dan pemberi mandat kuasa.

M. HATTA TALIWANG

Anggota DPR-RI 1999-2004

Pimred Senior Majalah FORUM

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular