Wednesday, April 24, 2024
HomeGagasanCatatan Fuad Bawazier Untuk Sri Mulyani

Catatan Fuad Bawazier Untuk Sri Mulyani

 

Catatan Idealitas-Pofesionalitas SMI

Pada 2 Januari 2019 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan laporan Kinerja dan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Isinya, ringkas dan padat tapi tidak komprehensif. Karena itu perlu kejelian membacanya agar tidak terkecoh atau misleading. Kenapa?

Karena, sejak Menteri Keuangan (Menkeu) era Sri Mulyani Indrawati (SMI) atau era Presiden Joko Widodo (Jokowi), semua laporan dicoba-sajikan dalam bingkai “sukses”. Yaitu, dengan menggunakan permainan kata-kata dan alat pembanding sekenanya (kurang relevan). Yang penting, kinerja nampak wah, hebat, dan sukses. Sering pula dengan meniadakan analisa yang seharusnya diungkapkan. Cara-cara seperti itu sesungguhnya bukan tradisi Kemenkeu yang cenderung polos dan konservatif. Mengutip orang “dalam”, model laporan yang sekarang ini adalah gaya SMI yang telah bermetamorfosis dari teknokrat profesional menjadi politisi, sesuai era politik yang serba pencitraan.

Catatan-Catatan Teknis

Hal-hal yang sudah sesuai atau positif dari laporan Menkeu tentu tidak perlu lagi dibahas di sini. Para politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI cukup mendalami kinerja yang belum sesuai atau yang perlu perhatian. Di antaranya:

1. Kurs Rupiah Terhadap USD

Dalam APBN 2018, kurs rupiah ditarget Rp 13.400,- dan realisasi rata – rata pertahun Rp 14.247. Nilai tukar rupiah ditentukan oleh banyak faktor yang intinya: besarnya supply valas terhadap demand valas. Sumber utama valas adalah ekspor dan pemasukan valas dari sumber lain ke Indonesia baik dari utang valas, currency swap, turis asing, foreign direct invetstment (FDI) maupun investasi portofolio serta pemasukan valas lainnya dari luar negeri seperti dari TKI/TKW. Rincian ini penting tetapi belum terungkap. Mungkin perlu dilaporkan bersama dengan Gubernur Bank Indonesia (BI).

Hal yang mencemaskan adalah ekspor (sumber utama valas) hanya tumbuh 7,7%. Sementara, impor (pemakai utama valas) tumbuh 22,2%, sehingga defisit neraca perdagangan Indonesia 2018 (migas dan non-migas) adalah USD 7,5 Miliar.

Dari perdagangan migas sendiri defisit USD 12,1 Miliar yang menunjukkan tajamnya peningkatan impor migas. Perlu dipisahkan berapa kenaikan nilai impor migas yang semata-mata karena kenaikan harga minyak, berapa yang karena naiknya volume impor minyak, dan terpenting serta harus jujur adalah berapa efek dari implementasi program B20, yang konon kilang-kilang minyak di dalam negeri sebenarnya tidak sesuai untuk mengadopsi program B20? Benarkah B20 hanya pencitraan? Atau, memang ada kekuatan tertentu yang lebih menginginkan impor minyak demi berburu rente dari impor?

Selain itu, impor jasa juga mengalami kenaikan yang tajam sehingga Neraca Transaksi Berjalan semakin defisit dan mengancam nilai tukar rupiah. Meski demikian, nilai tukar rupiah, anehnya, relatif masih terkendali yang tentunya ada faktor-faktor lain (anomali) yang harus dijelaskan rinci oleh pemerintah dan BI. Misalnya, benarkah karena Currency Swap dengan China? Hal-hal seperti ini tentunya harus diungkapkan pemerintah secara komprehensif dan transparan. DPR juga harus pro aktif.

Metode perhitungan depresiasi rupiah sepanjang 2018 juga harus dijelaskan, bagaimana pemerintah pada kesimpulan angka depresiasi 6,89%? Apabila pemerintah menggunakan angka kurs rata-rata tahun 2018 Rp 14.247,-, maka berarti diasumsikan nilai tukar rupiah pada awal tahun 2018 adalah Rp 13.328/USD, sehingga depresiasinya 6,89%.

Tetapi bila digunakan angka kurs point to point (bukan angka rata-rata) yaitu kurs per- 31/12/2017 dibandingkan per- 31/12/2018 yang Rp 14.481,-, bisa jadi angka depresiasinya berbeda. Tidak ada metode yang salah hanya saja perlu penjelasan terutama untuk para politisi di DPR agar tidak misleading.

2. Penerimaan Negara 2018

Menkeu SMI dengan bangga mengatakan bahwa untuk pertama kalinya pendapatan negara melampaui targetnya. Berarti juga mengakui selama ini gagal mencapai target. Dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.894,7 T, terealisasi Rp 1.942,3 T atau 2,5% di atas targetnya.

Akan tetapi bila dikaji lebih dalam, sumber-sumber penerimaan negara yang surplus adalah yang berasal dari atau karena faktor eksternal, bukan internal karena hasil kerja pemerintah. Penerimaan perpajakan (dari Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai) masih shortfall Rp 96,7 T atau 6% di bawah target APBN. Sementara dari Ditjen Pajak saja dari target Rp 1.424 T hanya terelisasi Rp 1.315,9 T atau shortfall Rp 108,1 T atau 7,6%. Shortfall yang “rendah” tadi sebenarnya tertolong karena PPh Migas menyumbang surplus 69,6% atau surplus Rp 26,6 T (dari target Rp 38,1 T) karena kenaikan harga minyak dunia, bukan karena kenaikan produksi Migas yang justru di bawah target.

Sementara tulang punggung penerimaan negara adalah dari pajak PPh non-migas dan PPN yang keduanya masih di bawah target APBN, yaitu dari target Rp 1,358,8 T hanya terealisasi Rp 1.225 T atau tekor Rp 133,8 T atau 9,8%. Sehingga diluar PPh migas, penerimaan Ditjen Pajak dari target Rp 1.385,9 T hanya terealisasi Rp 1251,2T atau shortfall 9,7%.

Surplus-surplus yang lain yang akhirnya mampu menutupi shortfall dari Ditjen Pajak adalah penerimaan yang bersifat musiman (faktor eksternal). Utamanya, dari kenaikan harga minyak dan komoditas di pasar dunia. Juga karena kenaikan hibah sebesar Rp 12,7 T atau kenaikan 1061%. Patut disyukuri tapi tidak perlu membusungkan dada, karena itu bukan hasil kerja pemerintah.

Soal Tax Ratio 2018 dilaporkan 11,5%. Dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 2018 sebesar Rp 14.745,9 T berarti diasumsikan penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.695 T. Sementara kenyataannya realisasi penerimaan perpajakan 2018 hanya Rp 1.521,4 T atau 10,3% dari PDB. Jadi, perlu penjelasan pemerintah. Misalnya, karena penerimaan perpajakan dalam realisasi APBN 2018 itu belum memasukkan PBB perkotaan dan pedesaan yang dikelola Pemerintah Daerah? Benarkah demikian? Semua ini tentu perlu penjelasan agar angka tax ratio tidak debatable.

3. Belanja Negara

Sejujurnya tidak mudah untuk melihat efisiensi dan efektivitas belanja negara tanpa melihat angka Satuan 6. Belanja barang saya yakini sebagai sumber kebocoran paling serius. Meski tanpa satuan 6, beberapa catatan masih dapat dibuat untuk perhatian Ibu Menkeu SMI:

3.1. Realisasi Pembayaran Bunga Utang Rp 258,1 T sedangkan anggarannya Rp 238,6 T atau kenaikan sebesar Rp 19,5 T (8,2%). Tentu perlu penjelasan atas kenaikan pembayaran bunga utang ini sebab utang adalah issue yang sensitif.

3.2. Subsidi BBM dan LPG yang dianggarkan Rp 46,9 T tetapi realisasinya Rp 97 T (207%) atau lebih besar Rp 50,1T. Apakah subsidi Rp 97T itu sudah angka accrual (total beban 2018)? Atau baru berdasarkan cash basis (jumlah subsidi yang benar-benar sudah dibayarkan kepada Pertamina)? Bila masih ada tunggakan subsidi BBM dan LPG 2018 yang belum dibayarkan di atas Rp 97 T itu berarti total subsidinya melebihi angka Rp 97 T. Dan bila demikian halnya, maka kekurangannya seharusnya tetap diperhitungkan sebagai beban anggaran 2018, yang berarti defisit anggarannya juga lebih besar dari yang dilaporkan.

Dalam APBN 2018 defisit anggaran tertera 2,19% PDB dan realisasinya menurut Laporan Menkeu 2 Januari 2019 adalah 1,76% PDB. Jujur saja, saya meragukan kebenaran angka pada Laporan itu sampai ada kejelasan atau klarifikasi tentang cara pembukuan/perhitungan subsidi maupun tunggakan-tunggakan lain seperti bunga dan lainnya. Praktik-praktik licik akuntansi APBN yang dikenal dengan istilah window dressing ini harus diungkapkan secara full disclosure baik oleh Menkeu maupun Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kepada DPR.

3.3. Catatan yang sama berlaku juga untuk subsidi listrik yang dalam APBN dianggarkan Rp 47,7 T tetapi realisasinya Rp 56,5 T itu sudah benar benar meliputi seluruh subsidi listrik 2018. Baik yang sudah dibayarkan kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) maupun yang belum dibayarkan (tunggakan) kepada PLN. Bila masih ada tunggakan subsidi listrik kepada PLN di atas angka Rp 56,5 T itu berarti menambah defisit anggaran (defisit APBN) 2018. Ini juga perlu di klarifikasi mengingat sering terjadi inkonsistensi dalam pelaporan APBN.

3.4. Contingent Liability
Mengingat kabarnya banyak utang utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dijamin negara, pemerintah perlu melaporkan secara rinci besarnya contingent liability ini sebagai footnote. Catatan ini penting karena bila BUMN gagal memenuhi kewajibannya, maka beban itu akan beralih ke negara. Pemerintah juga tidak bisa berdalih bahwa jaminan itu demi pembangunan infrastruktur sebab infrastruktur itu seharusnya adalah public goods yang dibangun oleh negara dan digunakan oleh publik secara cuma-cuma (gratis) seperti jalan umum, jembatan, irigasi, bandar dan lainnya. Tetapi bila diubah menjadi private goods/commercial goods seperti jalan-jalan tol yang mahal, itu adalah bisnis biasa.

Dr. FUAD BAWAZIER

Pengamat Ekonomi

RELATED ARTICLES

Most Popular