Thursday, April 18, 2024
HomeGagasanBudiman Sudjatmiko & Sayap Kiri Aktivis 1990an (Bag. 2)

Budiman Sudjatmiko & Sayap Kiri Aktivis 1990an (Bag. 2)

Tidak banyak media massa yang menuliskan hasil-hasil konferensi pers yang dilakukan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai oleh Budiman Sudjatmiko. PRD lahir menantang Pemilu 1997. Berusia muda, pun tak dinyatakan sebagai partai terlarang, lalu muncul sebagai peserta Pemilu 1999. Kalaupun pernyataan-pernyataan petinggi partai tampil utuh, tulisannya lebih banyak hadir di media-media bawah tanah (under ground) yang beredar dari tangan ke tangan. Yang mengedarkan juga kebanyakan adalah aktivis PRD yang kuliah di kampus-kampus, termasuk di UI. Tetapi bagian terbanyak dari terbitan ini datang dari Wien Muldian, seorang kawan yang benar-benar hidup dari buku, sampai sekarang aktif dalam komunitas buku. Kehadiran PRD disambut dengan tuduhan-tuduhan unik, antara lain sebagai Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) dari Almarhum Suhardiman, salah seorang pendiri SOKSI.

Kehadiran PRD yang berbeda dengan Gerakan Golput era Arif Budiman dan kawan-kawan di era 1970an, tentu mendapat apresiasi. Arbi Sanit yang pernah menulis buku tentang Golput era 1970an menjadi salah satu analis politik yang mengapresiasi PRD. Tak heran kalau kemudian Uda Arbi-pun terkena stigma “dosen kiri” di UI. Padahal, Uda Arbi yang asal Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat ini, adalah satu analis yang serius dalam berbicara. Cuma terkadang saja suaranya melengking, mirip dengan Harun Al Rasyid, guru besar hukum tata negara yang menganggap semua ahli tata negara lainnya adalah muridnya. Harun Al Rasyid juga punya darah Minang, selain Aceh. Itu yang saya ketahui.

Figur yang saya senangi sebagai pembicara di tengah anak-anak muda PRD adalah HJ Princen. Ia adalah seorang tentara wajib militer asal Belanda yang dikirim ke Indonesia dalam Perang Kemerdekaan I, lalu membelot. Princen terkenal anti-fasis di negaranya. Diluar Poncke – panggilannya –, saya juga senang mendengar uraian Pramodya Ananta Toer. Mereka selalu menyebut diri sebagai orang-orang tua yang berjiwa muda dan menyenangi pergerakan anak-anak muda. Terdapat sejumlah orang tua lainnya. Mereka mirip dengan Roeslan Abdulgani, sosok yang juga beberapa kali saya temui di BP7 Pusat atau kegiatan seminar di kampus. Tentu vokalnya tak setegap Joesoef Ronodipoero, pembaca naskah proklamasi lewat radio Jepang yang diduduki anak-anak muda revolusioner seperti Adam Malik. Saya pernah menemui Pak Joesoef dalam rangkaian pembuatan film “Pustaka Tokoh Bangsa” bersama Mas Garin Nugroho dan Yayasan Sains, Estetika dan Teknologi (SET). Sayang, hanya tiga film yang berhasil kami buat, yakni tentang Bung Karno, Bung Hatta dan Bung Syahrir. Padahal, saya sudah menulis sejumlah naskah tokoh-tokoh lainnya.

Kehadiran orang-orang tua yang tak sembarangan ini di ajang yang diinisiasi mahasiswa-mahasiswa usia 20an tahun, bagaikan kelompok mahasiswa era proklamasi yang menjadi panah-panah api Tan Malaka. Tentu bukan golongan muda yang terbiasa mencangkung di bawah pohon academia, termasuk Plato, ketika mendengarkan nubuat-nubuat Socrates. Buktinya, anak-anak muda era Socrates gagal menyelamatkan gurunya dari (hukuman) meminum racun, setelah dinyatakan bersalah oleh “pengadilan demokrasi” ala Yunani di kalangan para senator bangsawan. Pidato berjudul “Apologia” yang diucapkan Socrates sebelum tewas, ditulis ulang oleh Plato dengan derai air mata, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang rupawan oleh Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI yang ahli psikologi.

***

Hampir bersamaan dengan PRD, Sri Bintang Pamungkas mendirikan Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI). Kedua partai itu lahir jelang pertengahan tahun 1996, kala saya tak banyak lagi aktivitas di kampus. Dibandingkan dengan PRD, saya melihat PUDI lebih siap dari sisi platform. PUDI bahkan sudah menyiapkan naskah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia alternatif, dengan sistem federal. Hanya saja, PUDI terlalu one man show. Sementara PRD banyak memiliki sayap, baik dari sektor buruh, budayawan, seniman, hingga tani dan mahasiswa. Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi (SMID) adalah sayap kemahasiswaan dari PRD. Walau, saya lebih memandang SMID sebagai organ terpisah dari PRD. Sejumlah aktivis SMID sering hadir dalam forum-forum Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi se-Indonesia.

Saban hari, jelang Peristiwa 27 Juli 1996, saya bersama Rahmat Yananda (sahabat sejiwasaya yang menjadi aktivis Senat Mahasiswa UI yang punya pacar pemimpin redaksi Majalah Suara Mahasiswa UI) sering menonton Mimbar Demokrasi di kantor Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro. Saya sering tercenung dan ikut-ikutan menitikkan air mata mendengar perjuangan orang-orang yang datang ke acara Mimbar Demokrasi itu. Mereka menjual ayam atau apa saja supaya bisa hadir di Jalan Diponegoro. Suara mereka terbata-bata, tapi tekad mereka bulat. Saya baru melihat langsung bagaimana hebatnya retorika dari orang-orang yang begitu menyayangi Bung Karno. Mereka seterlatih Bung Karno dalam orasi. Bus-bus atau angkutan umum yang membawa sejumlah teman-teman mereka dihalangi masuk Jakarta, di banyak titik masuk. Sebagaimana diketahui, pasca Kongres PDI di Medan, terjadi kisruh atas kepemimpinan PDI. Massa rakyat mendukung Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI, sementara pemerintah terlihat berpihak kepada Soerjadi. Ujung-ujungnya, kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro diduduki oleh massa Pro Mega.

(Saya ingat dengan massa Taksin Sinawatra, ketika hadir di Lapangan Sanam Luang, Bangkok. Waktu itu, Taksin dilengserkan dari jabatan Perdana Menteri Thailand. Saya hadir di tengah lautan massa yang berkaos kuning. Walau Thaksin melakukan kejahatan di Thailand Selatan, saya lihat begitu banyak para petani yang datang ke Bangkok, mengelu-elukan Thaksin. Toh mantan polisi kaya itu tak betah bersama petani-petani yang membelanya. Ia melarikan diri ke luar negeri, setelah dilengserkan itu. Yingluck, adik Thaksin yang cantik, juga mengalami kejadian serupa: dikepung tentara untuk minggat dari kursinya sebagai Perdana Menteri.)

Beberapa kali kereta api yang lansir dari arah stasiun Manggarai menuju stasiun Cikini atau sebaliknya, berjalan pelan di area Jalan Diponegoro. Kadang kereta berhenti. Jangan dikira kereta api zaman old itu senyaman zaman now: banyak sekali pencopet yang suka nongkrong di Pasar Anyar, Kota Bogor, usai membagi-bagi hasil kerja PT SP Dua Jari mereka. Kumpulan massa dalam jumlah banyak itu menarik perhatian masinis. Biasanya, kereta api berjalan pelan apabila terjadi perang batu atau tawuran antara penghuni gang-gang di “Jalur Palestina” itu. Tawuran yang sudah turun-temurun dan diketahui oleh seluruh penghuni kereta api. Saya mencatat – dalam buku”Peta Konflik Jakarta: Warga, Mahasiswa, Preman, Suku, Negara dan Warga” yang terbit tahun 2004 – bahwa salah satu faktor yang meredakan tawuran menahun itu adalah resolusi bola yang dilakukan oleh sosiolog Imam B Prasodjo yang kebetulan berumah di Jalan Proklamasi. Mas Imam – menantu Miriam Budiardjo itu, dan tentu jadi keluarga besar dari Sutan Syahrir, mengingat saudaranya Siti Wahyunah (Poppy) menikah dengan Syahrir, juga punya paman mertua keren yakni Soedjatmoko dan Nugroho Wisnumurti  — membagikan bola kaki kepada anak-anak muda yang doyan tawuran, agar mereka bersama di area Gedung Perintis Kemerdekaan.

Diluar menonton Mimbar Demokrasi itu – yang bagi saya adalah pengalaman langsung pertama untuk mendengar orasi politik dari massa akar umbi, karena biasanya hanya mendengar orasi di kampus-kampus – saya berkegiatan di UI Salemba, menyiapkan buku 45 Tahun Program Extension FEUI. Selain itu, rapat-rapat di Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ) yang saya dirikan, baik di IKIP Jakarta (sekarang Univ Negeri Jakarta) ataupun di sekretariatnya yang tak jauh dari kampus UI Salemba. Kadang, saya menonton dari halaman Kedutaan Besar Palestina di seberang area Mimbar Demokrasi. Karena beberapa kali ikut aksi mahasiswa UI tentang Palestina, saya mengenali sosok Duta Besar Palestina yang baik hati dan pandai berterima kasih itu, mengingat seluruh biaya kedutaan ditanggung pemerintah RI.

***

Dan terjadilah Peristiwa 27 Juli 1996 itu. Saya sedang ada di FEUI Salemba, ketika terdengar teriakan tentang kebakaran di Jalan Diponegoro, dari arena Mimbar Demokrasi di DPP PDI. Orang-orang segera keluar dari kampus UI Salemba, bergegas ke jalanan. Saya juga ikut ke jalanan, membawa tas ransel. Terlihat massa lagi mencabuti pot-pot bunga yang baru saja ditata di tengah-tengah Jalan Salemba Raya menuju Jalan Matraman Raya. Program Potisasi (menaruh pot bunga di jalan-jalan utama) baru saja dimulai beberapa bulan oleh Pemprov DKI Jakarta. Sayang, massa mencabut bunga-bunganya, membalikkan pot dari beton itu. Massa sudah campur baur, dalam gerak yang tak lagi beraturan. Bukan massa yang berkerumun dari arah Jalan Diponegoro menuju RSCM, terut melewati Jalan Salemba Raya, misalnya. Atau massa dari arah Pasar Senen menuju Jalan Salemba Raya. Yang jelas, massa sudah berkumpul saja. Lebih banyak yang menonton, daripada mengambil inisiatif berbuat anarkis. Infonya, mereka didesak dari arah Jalan Diponegoro menuju Jalan Salemba Raya.

Kejadiannya sore hari. Udara tak panas, apalagi terik. Cenderung terasa mendung, akibat gumpalan awan atau mungkin asap-asap yang terbang. Dari kejauhan, asap-asap hitam membumbung tinggi. Menjelang sore, dari arah Pasar Senen, datang pasukan marinir yang menyelempangkan senjatanya ke bawah. Mereka berbaret ungu, tanpa sama sekali mengenakan baju anti huru-hara. Massa menyambut meriah kedatangan pasukan marinir itu.

“Pasukan Sukarno! Hidup Marinir! Hidup Sukarno! Hidup Megawati!” begitu teriakan massa, sambil salaman dengan pasukan marinir itu. Tak ada rasa takut untuk ditembak, misalnya. Moncong senapan mengarah ke bawah. Marinir itu sama sekali tak menggunakan sarung tangan. Mereka tak takut bersalaman.

Kehadiran pasukan marinir itu menenangkan massa. Aksi anarkisme sama sekali tak berlanjut. Tak ada bakar-bakaran kendaraan sebagaimana terjadi pada Peristiwa Malari (15 Januari) 1974. Ya, ada beberapa kendaraan terbakar, tapi terbatas sekali. Seandainya pasukan lain yang diterjunkan, saya yakin akan memancing emosi massa. Namun, akibat kendaraan lumpuh, begitu juga jalur kereta api, malam itu saya menginap di Mangga Besar XIII, tempat adik-adik dan kakak-kakak saya tinggal. Area menuju Jalan Diponegoro tertutup, sehingga keinginan untuk melihat markas PDI tak terpenuhi. Keluarga saya memang berjualan Sate Padang di Kawasan Pancoran, Glodok, Jakarta Kota. Pun di area Lokasari, Jalan Mangga Besar, dan Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara. Ada sejumlah gerobak sate yang dikendalikan oleh kakek dan nenek saya yang punya ilmu meracik bumbu sedap. Biasanya, setiap Sabtu atau Minggu, saya ikut berjualan Sate Padang Haji Kambaruddin di Petak IX, Pancoran, Glodok, itu.

Pascaperistiwa 27 Juli 1996 itu, banyak informasi menyebar di media massa. Saya yang bukan lagi “anak kemaren sore” membuat analisis sendiri di buku harian saya. Berlembar-lembar. Suatu saat saya ingin ketik ulang tulisan kusut itu; lalu bukukan apa adanya.  Sejumlah pemikiran yang “netral”, saya kirimkan ke Tabloid Swadesi yang kebetulan milik salah seorang petinggi PDI Soerjadi. Redakturnya adalah kawan saya di Majalah Suara Mahasiswa UI, saudara Bayu (beberapa waktu lalu, kawan saya ini menutup facebooknya untuk satu alasan “pertaruhan”). Tentu, saya menikmati honorarium juga dari artikel yang saya tulis. Hampir tiap minggu saya menulis di rubrik “Kolom Mahasiswa”, lalu pindah ke rubrik “Pendapat”, sebelum saya juga menulis di koran-koran lain. Saya sudah lupa, apa yang saya tulis di tabloid itu.

Lalu, PRD membesar. Padahal, sepanjang saya mengikuti Mimbar Demokrasi di Jalan Diponegoro, saya tak melihat teman-teman PRD ada di sana. Mimbar Demokrasi ya Mimbar Demokrasi saja, acara PRD ya acara PRD. Saya sempat mendengar selentingan bahwa kawan-kawan saya di FKSMJ juga ada yang mau ditangkap, berhubung mereka sedang rapat merancang acara SMPT di Univ Syiah Kuala, Banda Aceh. Seandainya bukan aktivis PRD yang ditangkap, tapi misalnya aktivis FKSMJ, mau tidak mau sebagai salah satu “dedengkot”nya, saya tentu bakal ikut hadir di penjara. Walau, pada hari kejadian, saya sama sekali tak sedang di Sekretariat FKSMJ. Namun, tidak ada ‘seandainya’ dalam sejarah. Saya lebih mengutamakan pekerjaan di FE UI Salemba, ketimbang rapat ngolor-ngidul di sekretariat FKSMJ. Lagipula, ruangan Program Extension FEUI di Salemba ber-AC, rapatpun ada makanan kecilnya; ketimbang sekretariat FKSMJ yang apa adanya.

Setelah itu? Saya mendengar pelarian teman-teman PRD. Sebagian berhasil ditangkap, termasuk junior-junior dan senior-senior saya di Jurusan Ilmu Sejarah FSUI. Dari Angkatan 1991, sama sekali tak ada yang “dapat bagian”, berhubung kami memang sudah menjadi Angkatan Hijau Semangka (luarnya hijau, dalamnya merah). Tak ada yang ideologis tulen di Angkatan 1991. Mungkin Agung Pribadi – tokoh yang saya ambil untuk salah satu ustadz dalam novel saya “Pinangan dari Selatan” – yang jelas-jelas menggunakan tongkat atau Wasillah yang idealis (sekaligus Soekarnois, seingat saya). Dari Angkatan 92, ada JEK yang merupakan pindahan dari Jurusan Ilmu Perpustakaan FSUI Angkatan 1991. Dari Angkatan 90, ada Wignyo. Terus ada Wilson dari Angkatan 89. Lumayan “banyak” juga anak-anak Ilmu Sejarah FSUI yang disekolahkan di tahun-tahun yang mestinya mereka sudah sibuk dengan skripsi.

(Usai dari penjara, Wilson tampak sebagai sosok yang sangat relegius. Rambutnya tak lagi panjang, sebagaimana Hilmar Farid dan sosok-sosok lainnya. Ia masih berpakaian hitam-hitam. Dia beristrikan seorang aktivis dan peneliti Yappika yang sering melakukan proyek penelitian dengan saya. Wilson menunjukkan ‘kekagetan’ pas tahu saya bekerja di Centre for Strategic and International Studies yang sudah banyak mushollanya ketimbang sebelum saya masuk).

Belakangan, saya baru tahu bahwa kakak kandung dari kawan saya di Angkatan 1991, yakni Musa Emyus, adalah salah satu tokoh pemuda asal Kemayoran yang paling ditakuti di zaman itu. Nama tokoh itu adalah Seno Bella Emyus. Seno mengaku dikumpulkan di Cibubur, sebelum merapat bersama 400-an orang anggotanya ke Jalan Diponegoro. Kesaksian Seno banyak membantu pihak pengacara PDI Megawati yang dikomandani RO Tambunan itu. Bahkan, tokoh seperti Hercules belum menunjukkan tajinya, kala Seno sedang jaya-jayanya. Bagian ini nanti saja saya tulis khusus bersama Musa Emyus, kawan saya yang kini sudah memakai jaket Partai Amanat Nasional itu, dulu sempat masuk Partai Persatuan Pembangunan. Musa adalah juru bicara Gojek, lalu bilang: “IJP sekalipun tak bisa ngalahin gue, kalau gue tampil debat di televisi.” Musa termasuk anggota Afdeling B senior, ikut dalam grup nasyid NGeK, terutama karena ia memang satu angkatan dengan Agung Pribadi dan saya di Jurusan Ilmu Sejarah FSUI.

Budiman Sudjatmiko mendapatkan dirinya sebagai salah seorang yang ditangkap. Cerita tentang anak muda ini bermacam-macam. Tapi satu hal yang saya tangkap masa itu adalah Budiman berasal dari keluarga Muhammadiyah. Ibunya seorang guru. Diluar itu, sama juga dengan saya, Budiman sama sekali sudah terlepas dari keluarganya sejak sekolah. Saya akan tanya Budiman soal ini nanti. Saya tak yakin, Budiman benar-benar lepas seperti saya sejak Sekolah Dasar hingga Magister di FISIP UI, atau benar-benar sejak kecil. Latar belakang sebagai keluarga Muhammadiyah sudah cukup bagi saya untuk mengunci banyak cerita “seram” tentang Budiman yang disebarkan ke publik. Ayah saya juga keluarga Muhammadiyah – sebelumnya Masyumi –, tentu saya paham pandangan-pandangan politiknya, bahkan yang ekstrim sekalipun.

Dan sampai Budiman “diwisuda” dari kampusnya di Cipinang University, saya sama sekali tak pernah menjumpainya. Saya baru intensif bertemu dengannya, setelah mendapat tugas non akademis untuk membangun jejaring politisi muda yang bakal berhadapan dengan kalangan peneliti CSIS secara periodik. Saya mendapatkan cerita tentang Budiman dan Xanana Gusmao dari berbagai artikel yang saya baca, juga kemudian dari boss saya yang lain: Sjahrial Djalil. Bang Djalil yang punya rumah di Jalan Proklamasi Nomor 41 itu – sebelum pindah tangan – adalah orang Bukittinggi dan membangun sebuah mesjid di jenjang 40 Bukittinggi. Ia sering datang ke kampus Budiman itu. Dalam setahun, ada sekitar enam bulan ia keliling dunia – dan saya kudu mengirimkan fax ke banyak sekali hotel di dunia, untuk memberikan analisis situasi Indonesia dalam dua halaman. Kesukaan Budiman adalah informasi terkait dengan Amerika Latin, termasuk kaset-kaset musik asal Argentina, Brazil dan Mexico. Barangkali, bagian Latin Amerika ini yang akan saya ceritakan pada bagian ketiga nanti, sekaligus juga kritik terbesar saya padanya.

Yang jelas, Budiman diterima sebagai Urang Sumando alias Menantu Rang Bukittinggi. Saya sempat juga ikuti drama percintaannya. Itu artinya, saya adalah mamak rumah alias paman secara adat dari tokoh paling pucuk dari magma gerakan mahasiswa era 1990an ini.

(bersambung)

 

 

INDRA J PILIANG

Ketua Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute

RELATED ARTICLES

Most Popular