Wednesday, April 24, 2024
HomeGagasanBudiman Sudjatmiko dan Sayap Kiri Aktivis 1990an (Bag. 1)

Budiman Sudjatmiko dan Sayap Kiri Aktivis 1990an (Bag. 1)

Berapa lama lagi Budiman Sudjatmiko tak lagi dianggap sebagai anak tiri dalam kapal besar PDI Perjuangan (PDIP)? Pertanyaan itu hinggap hampir di semua kepala kalangan aktivis mahasiswa yang berkiprah pada era 1990an. Budiman dinilai  tak tampil utuh sebagai sosok politikus yang dibebani ide-ide sosialisme demokratis — yang sebetulnya bisa ditampung kepak sayap partai marhaen ini. Budiman divonis telah berkompromi dengan perubahan posisi-posisi politik partai, terutama setelah PDIP bukan lagi menjadi partai oposisi. Walau, dilihat dari komposisi DPR MPR RI, PDIP baru belakangan mendapatkan satu tempat dalam posisi pimpinan DPR dan MPR.

Seperti anak-anak muda lainnya yang telanjur dibingkai dalam layang-layang pelbagai rupa  untuk dianjungkan ke angkasa, angin jenis apapun potensial mengayunnya kemanapun pergi. Layang-layang yang tak mendapatkan ciuman angin, dengan cepat merunduk ke bumi, terkapar bagai sirip-sirip ikan yang terpapar racun merkuri. Layang-layang yang bisa bercengkrama dengan angin, sesuai dengan tarik-ulur yang dimainkan tangan dan jemari nahkodanya: bagaikan ikan hidup di samudera biru. Tamparan angin yang keras adalah beliung yang bisa memutuskan tali, hingga layang-layang itu jadi sasaran buruan dan kejar-kejaran kanak-kanak yang memegang galah.

Dibandingkan dengan nama siapapun, Budiman adalah sumber iri-hati seluruh aktivis mahasiswa era 1990-an. Kenapa iri-hati? Sudah banyak para aktivis mahasiswa yang menghibahkan dirinya untuk berkelahi dengan kekuasaan, tak banyak yang mendapatkan tanggapan. Yang saya ingat hanya Denny, seorang aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) yang lantas dipecat oleh rektornya, Wiranto Arismunandar. Kebanyakan aktivis merasa tak keberatan untuk dikeluarkan dari kampus, dipenjarakan, kalau perlu di-bully oleh seantero aparatur negara, dengan cerita-cerita hoak yang tak ada panggung untuk dibantah. Sekali anda dikatakan A, maka informasi itu bakal menyebar ke seluruh penjuru angin.

Budiman? Tiba-tiba naik ke puncak piramida aktivisme mahasiswa. Ia ditangkap sebagai “pemimpin gerombolan anak-anak muda” yang memimpikan perubahan. Penangkapan Budiman terjadi pasca peristiwa Kudatuli, 27 Juli 1996. Budiman dan kawan-kawannya dianggap sebagai biang kerok dari tragedi yang menghilangkan nyawa sejumlah orang itu, serta sebagian tempat di Jakarta terbakar. Padahal, sebelum Budiman muncul bersama kawan-kawan Partai Rakyat Demokratik (PRD)-nya, aktivisme intra dan ekstra kampus tak kering di Jakarta.

***

Aksi menentang pembreidelan atas majalah Tempo dan Tabloid Detik, pada tanggal 21 Juni 1994,  misalnya, dilakukan oleh para aktivis yang juga bergerak di tempat Budiman dan kawan-kawan sering konferensi pers: Jalan Diponegoro. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) memang dijadikan sebagai sarang perlawanan terhadap wacana-wacana yang berbeda dengan negara Orde Baru. Saya tak ingat, apakah Budiman ikut serta dalam long march yang dilakukan oleh kalangan aktivis mahasiswa (kiri) pada malam hari dari Jalan Diponegoro menuju Gedung MPR DPR RI, tatkala Menteri Penerangan Harmoko memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh DPR RI. Saya ikut bersama Budi Arie Setiadi, Robertus Robert, Achmad Noerhoeri dan Ikravany Hilman.

Narasi yang berkembang di dekade terakhir Orde Baru itu masih bersifat aksara sentris: berputar-putar pada diksi. Ada novel ‘Saman’ yang ditulis oleh Ayu Utami sebagai warna aktivis pergerakan lingkungan waktu itu. Terdapat juga buku ‘Prahara Budaya’ yang ditulis oleh Des Moeljanto dan Taufik Ismail. Pramodya Ananta Toer baru saja bisa berwacana di kampus-kampus, termasuk menjajakan kumpulan tulisan magis dan dahsyat “Nyanyi Sunyi Seorang Bisu”. Kelompok Petisi 50 – termasuk AH Nasution, Ali Sadikin dan Moechtar Lubis – baru membuka diri dengan kalangan lain. Sejumlah sosok generasi veteran ini muncul dalam wawancara-wawancara eksklusif di Tabloid Detik yang dikelola oleh Eros Djarot, terutama. HJ Princen dan Adnan Buyung Nasution adalah dua sosok yang sering hadir di YLBHI.

Sri Bintang Pamungkas juga sedang menjadi sosok pembangkang yang membentuk Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) setelah keluar dari DPR RI.  Di televisi muncul acara ‘Perspektif dan Perspektif Baru’ yang diampu oleh Wimar Witoelar dan Fahmi Idris yang notabene adalah Angkatan 1966. Ekky Sjahruddin – sosok paling fenomenal, jenius dan trengginas dari aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Angkatan 1966, juga mencuat dengan diskusi-diskusinya yang tajam. Belum lagi Forum Demokrasi (Fordem) yang digawangi oleh Abdurrahman Wahid, Mohammad Sobari, Bondan Gunawan dan Marsilam Simandjuntak. Penerbit Mizan mencuat dengan buku-buku tebal tentang peradaban Islam. Di Yogyakarta, hadir penerbit-penerbit kecil yang populer, terutama untuk buku-buku sayap kiri. Tentu juga buku-buku terbitan Gema Insani Pers yang tipis-tipis dan banyak ayat, bagi kalangan aktivis kampus yang sedang ber-ghirah dengan kebangkitan Islam pada abad ke-15 Masehi.

Bagi kalangan aktivis yang berkutat setiap hari dengan dinamika rezim, tentu sudah paham bahwa rezim Orde Baru tidaklah sekuat era 1970an dan 1980an. Secara oportuniti, siapapun yang menjadi lawan dari rezim, potensial menjadi “pahlawan”. Apalagi, kasus-kasus kekerasan secara fisik tidak lagi menjadi momok bagi tahanan politik. Bahkan, musim semi keluarnya tahanan-tahanan politik tua sedang terjadi. Tak heran, kalau kehendak ingin ditangkap oleh rezim sudah menjadi guyonan harian, tanpa ada rasa takut. Pada aksi malam hari di Bina Graha tanggal 15 Agustus 1995 malam, misalnya, siapa yang tidak ditangkap dari 36 orang mahasiswa Universitas Indonesia yang ikut malah dituduh intel. Saya kebagian tuduhan itu, mengingat muncul di koran pagi dengan foto besar-besar, berkemeja hijau lengan pendek, mengenakan topi, sambil berteriak ke arah aparat, tanpa mengenakan jaket kuning.

Dampak kepulangan banyak intelektual dari luar negeri begitu terasa. Bukan hanya Nurcholish Madjid, tapi juga Amien Rais, Sjafi’i Ma’arif, Wimar Witoelar atau  Adnan Buyung Nasution. Mereka mengisi forum-forum diskusi. Generasi yang mengkhidmati adalah yang lahir pada tahun 1970an, anak-anak biologis Orde Baru sendiri, lalu di usia 20 tahunan sedang di kampus-kampus ternama dalam negeri, termasuk menjadi taruna Akademi Militer. Sebagian di antara mereka mengajar di kampus-kampus yang bukan Jakarta, tentu. Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, tempat Budiman Sudjatmiko menimba ilmu, adalah salah satu tempat kepulangan itu. Sritua Arief adalah salah satu sosok yang mengisi kepala mahasiswa-mahasiswa UGM yang doyan diskusi tentang ekonomi kerakyatan.

***

Secara pribadi, saya tidak mengenal Budiman, sampai era reformasi. Tapi, saya sudah bertemu dengan sosoknya di YLBHI itu. Kebetulan, saya ada proyek penulisan buku 45 Tahun Jurusan Diploma Fakultas Ekonomi UI bersama Mustafa Kamal, mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Sastra UI. Saya sering ke UI Salemba dengan menaiki kereta api. Sesekali, saya mampir di YLBHI atau Taman Ismail Marzuki (TIM). Pun, saban pekan saya mengantar kekasih saya ke rumahnya di Jalan Talib III, Krukut, Tamansari, Jakarta Kota – tempat saya akhirnya menetap sejak tahun 2002 sampai sekarang. Pulang dinihari menjelang sholat subuh adalah bagian dari “tugas mengantar” itu, dengan ganti-ganti mobil mikrolet jurusan Kota – Kampung Melayu, Kampung Melayu – Pasar Minggu, lalu Pasar Minggu – Depok.

Waktu itu saya indekos di belakang Universitas Pancasila. Nah, jalan tikus tempat saya turun di dekat kampus Universitas Pancasila itu dihuni tempat tongkrongan favorit mahasiswa: warteg, mie rebus, telur separo matang, kopi dan sebagainya. Sering saya lihat Budiman dan kawan-kawan berkumpul di sana, setelah dini hari. Saya tidak tahu, dia mau ke mana, mungkin ada tempat indekos kawannya di sana. Yang jelas, makanan Budiman sama dengan saya: mie instan. Budiman saya lihat suka tertawa, tak serius, rambut ikal, lebih mirip dengan tokoh Lupus garapan Gola Gong dan kawan-kawan. Hanya permen karet yang tak saya lihat di mulutnya. Di luar itu, nama Budiman saya kenal di lingkungan aktivis mahasiswa-mahasiswa ilmu sejarah FSUI yang sebagian besar adalah kawan-kawannya. Hilmar Farid (sekarang Dirjen Kebudayaan di Kemendikbud), Wilson, Mohammad Husni Thamrin (eheem, perlu saya sebut, karena sekarang ada di Partai Demokrat), Jacobus Eko Kurniawan, dan Wignyo adalah kawan-kawan Budiman itu.

Saya tentu tidak perlu mencari tahu tentang “kekirian” Budiman. Kalau mau mencari pusatnya kiri, tentu semua aktivis UI tahu tempatnya: datang saja ke Jurusan Ilmu Sejarah FSUI. Sejak mereka tak lagi memegang kendali di Senat Mahasiswa FSUI – dikalahkan oleh Pandji Kian Santang yang juga ilmu sejarah UI dengan Campaign Manager Fadli Zon pada tahun 1992 dan Mustafa Kamal pada tahun 1993 dengan saya sebagai Sekretaris Umumnya –, kelompok merah di FSUI dan Studi Klub Sejarah (SKS) FSUI (saya sempat menjadi ketuanya pada 1994/1995) ini berkiprah di luar kampus. Agus Widiarto yang jelas bukan kiri, adalah juga mahasiswa jurusan ilmu sejarah FSUI yang menjadi Sekretaris Umum Senat Mahasiswa UI dibawah kepemimpinan Zulkieflimansyah (FEUI).

Kawan-kawan sekuliahan yang “macet” berkiprah dalam organisasi intra kampus ini, dengan cepat memiliki simpul-simpul di kalangan aktivis mahasiswa yang sering berkumpul di YLBHI dan TIM. Saya tak begitu memperhatikan, mengingat lebih sibuk di Pusat Kegiatan Mahasiswa (Pusgiwa) UI sepanjang 1994 s/d 1996. Yang penting, apapun tentang kiri sudah habis kami kupas di kampus, tidak perlu seorang Budiman asal Kaliurang itu ikut-ikutan menceramahi kami.

Yang saya ingat hanya satu: saya mulai menggunakan nama Indra J Piliang pada tahun 1995 awal, ketika ikut kuliah Dr. Ong Hok Ham di kampus UI Salemba bersama kawan-kawan kiri dan kanan itu. Pertanyaan Pak Ong, “Apa kamu orang Jawa? Indro Joyo itu kan Jawa?”-lah yang membuat saya memberi titik (.) pada Jaya. Saya tak lagi menulis di paper-paper atau tulisan-tulisan non akademis dengan nama asli saya Indra Jaya, melainkan Indra J Piliang yang asli keturunan Datuk Ketumanggungan, penasehat Raja Adityawarman asal Majapahit (Jawa) itu.

Tentu saya menikmati bacaan-bacaan bawah tanah pasca bredel 1994 itu. Banyak sekali terbitan bawah tanah, terutama yang berasal dari kalangan terpelajar (dan pelarian politik) Indonesia di luar negeri. Justru yang kami tunggu adalah edisi-edisi terbaru dari terbitan-terbitan bawah tanah itu. Dengan mudahnya anak-anak ilmu sejarah mendapatkan terbitan-terbitan terlarang itu, saya tahu bahwa jaringan intelektual mahasiswa-mahasiswa ilmu sejarah FSUI begitu kental, dekat dan hebat dengan para penerbit. Perang Hijau vs Merah memang menjadi bagian terpenting dari kami yang masuk tahun 1991. Bahkan, angkatan sesudah kami tak lagi diakui oleh angkatan-angkatan yang lebih senior. Soalnya, Angkatan 1991 Jurusan Ilmu Sejarah FSUI adalah angkatan terakhir yang di-inisiasi dalam Jumpa Kerabat Sejarah (JKS) di Cisarua. Angkatan sesudah itu, sama sekali tak mendapatkan inisiasi, termasuk JJ Rizal (Ilmu Sejarah FSUI Angkatan 1992) dan Nusron Wahid (Ilmu Sejarah FSUI Angkatan 1993).

Senior-senior merah kesal sama saya lebih banyak karena kegagalan saya sebagai Ketua Studi Klub Sejarah (SKS) FSUI 1993/1994 mengadakan JKS ini. Padahal, saya sudah menunjuk Musa M Yus sebagai Ketua Organizing Committee-nya.

Jadi, ketika Budiman tampak dendi, banyak senyum, sesekali mengusap rambut ikalnya, tanpa debat ideologis yang serius dan “berdarah” sebagaimana terjadi di kalangan anak-anak SKS FSUI, saya tak anggap sebagai keajaiban. Malah, saya kadang mengesankan Budiman hanya simbol yang dikelilingi oleh anak-anak ideologis kiri yang notabene adalah kawan-kawan saya di SKS FSUI. Budiman dipilih sebagai tokoh sentral bukan karena kepintarannya, melainkan lebih karena wataknya yang supel, atau mungkin wajah innocent-nya. Yang jelas, Budiman tak lebih ganteng dari Hilmar Farid, misalnya, atau tak lebih beringas dibandingkan dengan Wignyo atau JEK. Yang bisa menyamai sikap humble Budiman hanyalah Andi Achdian (Andi lemah, julukannya), kini sudah menjadi doktor bidang ilmu sejarah. Kalau kegantengan, tentu pemenangnya adalah Bondan Kanumuyoso (Sejarah 1991, kini dosen yang sudah selesai juga doktornya), sahabat saya yang menjadi anak biologis dari tokoh Forum Demokrasi: Bondan Gunawan.

Kenapa Budimanlah yang menjadi tokoh generasi kami?

(bersambung)

 

INDRA J. PILIANG

Ketua Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute

RELATED ARTICLES

Most Popular