Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanBM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (8)

BM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (8)

BM Diah Cakrawarta

Saya menyaksikan dari dekat, Irak berada dalam suasana memprihatinkan. Rakyat Irak mendapat ujian yang berat. Apalagi waktu itu cuaca dingin sudah mulai datang.

Saya terus mencari informasi pertama tentang Irak. Itulah tujuan utama saya ke Irak. Jika hanya sekedar informasi, cukup membaca media di Irak atau mendengarkan radio dan melihat televisi. Tetapi informasi yang dicari, harus saya peroleh dari tangan pertama. Bukankah saya diundang dan difasilitasi hotel dan makan selama di Baghdad oleh pemerintah Irak? Mengapa hal tersebut harus saya sia-siakan?

Meski saya datang pada bulan Desember 1992, tetapi dampak serangan pasukan multinasional yang dipimpin Amerika Serikat dan Inggris pada 17 Januari 1991, menjadi bahan perbincangan di berbagai tempat makan dan disudut-sudut kota Baghdad.

Hari ke-6 saya di Baghdad, pagi hari, saya mendapat telepon di hotel tempat menginap, bahwa Udday Saddam, anak tertua Presiden Irak Saddam Hussein, yang menjabat sebagai Ketua Pemuda, Pers, Seni dan Olahraga Irak, ingin bertemu saya.

Saya mempersiapkan diri dan menelepon KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Baghdad untuk meminta penerjemah bahasa Arab, Abdul Muheit, agar bersedia ikut bersama saya. Saya ingin lebih terperinci mendengar informasi perkembangan politik di Irak.

Pagi hari, kami sudah sampai di Gedung Olahraga yang ditentukan. Tidak lama Udday datang dengan pengawalan ketat dan berlapis-lapis.

Kami masuk ke sebuah ruangan dan menunggu waktu yang dijanjikan. Tepat pukul 14.00 waktu setempat, seorang staf Udday menghampiri kami serta mengatakan bahwa hari ini sang ketua sibuk sekali. Jadwal akan diatur ulang. Saya dan Pak Abdul Muheit kembali ke tempat masing-masing.

Dua hari kemudian, telepon berdering lagi di hotel tempat saya menginap. Kali ini dari Kementerian Industri dan Perlogaman Irak bahwa menteri ingin melakukan wawancara. Saya kembali sibuk menelepon Pak Abdul Muheit dan keesokan harinya dengan memakai kendaraan Kementerian Penerangan Irak serta seorang staf dari kementerian tersebut, kami tiba di Kementerian Industri dan Perlogaman Irak.

Tidak lama menunggu, seorang berperawakan tegap dan berpakaian militer menghampiri kami. Beliau memperkenalkan diri sebagai Menteri Industri dan Perlogaman Irak Amir al-Saadi. Informasi yang saya ketahui, ia masih kerabat Presiden Irak Saddam Hussein. Boleh jadi beliaulah yang ditunjuk atau orang yang tepat berbicara tentang situasi di Irak yang mewakili Udday Saddam atau ayahnya Presiden Irak Saddam Hussein menemui saya.

Melihat menteri berpakaian militer, dapatlah kita maklumi bahwa situasi di Irak masih darurat. Tidak lama setelah duduk, sang menteri berdiri dan berbicara dengan bahasa Arab yang jelas dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bagaimana situasi dan kondisi Irak diserang oleh pasukan multinasional. Menurut Amir al-Saadi, semua instalasi listrik lumpuh total, termasuk stasiun transportasi. Irak gelap seperti negara tidak berpenghuni. Bara api meluncur dari pesawat tempur pasukan multinasional yang berjumlah 37 negara itu.

“Di sektor listrik saja, 92 persen hancur. Bahkan boleh dikatakan, ada tiga tempat penyulingan sangat penting yang berhasil dihancurkan,” ujar Amir al-Saadi.

Serangan itu terjadi sebanyak 72 kali, di pusat-pusat wewenangnya, jelas Amir. “Saya sempat putus asa. Suatu malam, setelah dua hari terjadinya pemboman itu, yaitu tanggal 19 Januari 1992, Presiden Irak Saddam Hussein datang ke tempat saya menanyakan hal yang terjadi. Saya kaget dengan hadirnya seorang presiden yang tiba-tiba. Saya berbicara dengan sedih tentang hancurnya beberapa pembangkit lustrik,” komentar Amir.

Tetapi ketika saya melihat wajah Presiden Saddam Hussein, lanjut Amir al-Saadi, ” beliau nampak tenang. Bahkan tersenyum dan mengatakan bahwa saya akan mampu memperbaiki yang telah hancur. Tidak ada hari-hari yang mustahil.”

Memang benar, seperti yang saya saksikan ketika tiba di Baghdad, tahun 1992, jalan-jalannya tidak terlihat hancur dan listrik terang benderang menyinari kota 1001 malam itu. “Hal ini menunjukkan keheroikan dan semangat pantang menyerah rakyat Irak,” sebagaimana kata Menteri Amir al-Saadi.

Di tengah-tengah pembicaraan yang bersemangat itu, Amir memperlihatkan bendera Irak yang mengalami perubahan. Sebelumnya di tengah-tengah terdapat tiga bintang, tetapi sekarang ada kata Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

“Presiden Irak Saddam Hussein sendiri yang menggoreskan kalimat Allahu Akbar dengan tangannya ke bendera tersebut,” jelas Amir.

Kementerian kami termasuk besar, kata Amir menjelaskan kementeriannya. Pada waktu itu dengan terbengkalainya listrik, maka semua menjadi lumpuh. Oleh karena itu, kami harus bekerja cepat. Langkah pertama yang kami lakukan, memperbaiki penyulingan minyak agar mampu memberikan bahan bakar, transpirtasi dan mengembalikan tenaga listrik.

Langkah kedua, perbaikan stasiun listrik disamping memperbaiki unit-unit penyulingan, perbaikan air minum dan memberikan peralatan di berbagai rumah sakit.

Pada waktu saya di Irak, tentara Irak sudah diusir dari Kuwait oleh pasukan multinasional pada 24 Juli 1991. Tetapi Presiden Amerika Serikat George Bush pada waktu ini enggan melanjutkan pertempuran di Irak. Nampaknya enggan melakukan perang darat, karena takut kehilangan ribuan pasukan terbaiknya.

Boleh jadi senjata pemusnah massal Irak terbayang dibenak Bush. Bukankah Amerika Serikat mengetahuinya, karena Irak pernah bersahabat dengan Amerika Serikat? Tetapi kenapa senjata pemusnah massal tidak ditemukan di Irak?

(bersambung)

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis Sejarawan dan Penulis Senior

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular