Friday, March 29, 2024
HomeGagasanBM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (1)

BM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Rusia dan Irak (1)

BM Diah Cakrawarta

Senin, 10 Juni 1996, 21 tahun yang lalu, pers Indonesia digayuti awan hitam. Pers Indonesia berkabung dengan perginya seorang tokoh pers, Burhanudin Mohamad Diah (79) atau namanya yang sering disingkat BM Diah.

Lahir di Kotaraja, Aceh, yang sekarang bernama Banda Aceh, pada 7 April 1917. Harian Merdeka yang terbit pada hari duka itu, khusus di halaman Dr.Clenik yang sering ditulis BM Diah, diwarnai tinta hitam,sebagai tanda turut berkabung.

Harian Republika, edisi Selasa, 11 Juni 1996 membuat judul: Wartawan Pejuang itu telah Tiada. Di sana dipaparkan pula kesedihan keluarga BM Diah, isteri BM.Diah, Herawati Diah dan tiga anaknya Adyaniwati Tribuana Said, Nurdianawati W.Rohde, dan Nurman Diah.

Seiring dengan wafatnya BM Diah, perjalanan Harian Merdeka ikut terseok-seok dan kemudian tenggelam. Kini tidak ada lagi kop surat kabar berlogo merah darah, yang boleh dikatakan tidak bisa lepas dari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Ia terbit pada tanggal 1 Oktober 1945, hanya satu setengah bulan setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya.

Terbit pada saat bangsa Indonesia tengah berjuang merebut periuk nasinya sendiri dari tangan penjajah, pada saat suatu bangsa tengah berusaha menegakkan suatu negara republik yang bernama Indonesia.

Buat saya, mengingat BM Diah samalah artinya mengingat perjalanan jurnalistik pertama di Kelompok Penerbitan Merdeka, Majalah Topik (Redaktur Pelaksana) dan Harian Merdeka (Redaktur Luar Negeri).

Pada saat saya sebagai Redaktur Luar Negeri Harian Merdeka, selain menyelesaikan tugas rutin sehari-hari, saya berhasil pula menyusun buku “Butir-Butir Padi B.M.Diah, Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman (Jakarta: Pustaka Merdeka, 1992).”

Wajah B.M.Diah ceria sekali ketika saya menyelesaikan buku tersebut. Buku ini selesai, saat BM Diah memasuki usia 75 tahun. Peluncuran buku ini diselenggarakan pada Ulang Tahun Harian Merdeka ke-47 dan Indonesian Observer ke-37 dan diperingati di Grand Hyaat Hotel, Jakarta.

Buku BM Diah terbit, beliau memanggil saya ke ruangannya dan mengatakan, apakah Bung Dasman ingin berjalan-jalan ke Amerika Serikat? Saya menjawabnya, jika bisa perjalanan saya tidak sekedar berjalan-jalan, tetapi dikaitkan dengan tugas jurnalistik. Tetapi tidak ke Amerika Serikat, namun ke Irak melalui Uni Soviet. Beliau setuju.

Kenapa saya berpikiran harus ke Uni Soviet? (nama waktu itu. sekarang, Rusia). Bagaimanapun BM Diah pernah menganggap wawancara khususnya dengan Mikhail Gorbachev, Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet di Kremlin pada 21 Juli 1987 sebagai mahkotanya sebagai wartawan, karena diliput dan dikomentari oleh berbagai pers dan disambut baik oleh tokoh dunia. Misalnya, Rajiv Gandhi, Perdana Menteri India waktu itu.

Selanjutnya surat agar diundang ke Irak, saya tulis. Tetapi setelah dibaca BM Diah, isinya kurang berkenan di hatinya. Ia pun menulis surat untuk saya. Setelah itu baru diberikan kepada sekretarisnya Eveline untuk dikomputerisasi.

Bagaimana pun BM Diah lebih suka menulis di mesin ketik, bukan di komputer. Hal ini juga dilakukan oleh Rosihan Anwar, wartawan Harian Pedoman. Sebelumnya Rosihan Anwar pernah bergabung di Harian Merdeka.

Orang-orang seperti BM Diah atau Rosihan Anwar tidak mau idenya langsung hilang jika sedang menulis, seperti listrik mati, sehingga ide awal hilang sama sekali. Itu sering terjadi jika menulis di komputer.

Setelah BM Diah menulis surat kepada Duta Besar Irak di Jakarta, Yang Mulia Zaki al-Habba, agar mengundang sekaligus memperkenalkan saya, barulah saya bersiap-siap menuju Irak, melalui Uni Soviet, nama waktu itu.

Tanggal 10 Desember 1992, saya meninggalkan Bandar Udara Soekarno-Hatta menuju Moskow, ibu kota Uni Soviet (sekarang Rusia). Setelah menempuh perjalanan dengan pesawat Aeroflot selama 13 jam dari Jakarta, saya tiba di Moskow. Di bandara, saya dijemput oleh koresponden Harian Merdeka di Uni Soviet, Svet Zakharov. Ia lalu membawa saya ke kediamannya dan memang selama tiga malam saya pergunakan waktu untuk beristirahat dan berkenalan dengan keluarga Svet Zakharov.

Saya berasumsi, nanti setelah saya dari Irak, barulah saya berkeliling di kota Moskow. Bagaimana pun, memang rute perjalanan saya yang sudah diatur, adalah dari Jakarta, Uni Soviet, Jordania, Irak dan kembalinya dari Irak, kembali ke Jordania, Moskow, Jakarta.

Tentang pesawat Aeroflot ini, perwakilannya kemudian ditutup di Jakarta, karena Bakin yang dipimpin oleh Jenderal LB Moerdani menyatakan bahwa manajer perwakilan Perusahaan Penerbangan Aeroflot yang beroperasi di Indonesia, Alexander Paylovich Finenko (36 tahun) terlibat sebagai mata-mata.

(bersambung)

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis, Sejarawan dan Penulis Senior

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular