Friday, April 26, 2024
HomeGagasanBM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Irak dan Rusia (11)

BM Diah dan Tugas Jurnalistik ke Irak dan Rusia (11)

BM Diah Cakrawarta

Hari kepulangan saya semakin dekat. Rute perjalanan saya dari Baghdad (Irak) ke Jakarta (Indonesia) tetap melalui jalur di awal keberangkatan. Jika berangkat, dari Jakarta, Moskow (Uni Soviet, sekarang Rusia), Amman (Jordania), Baghdad (Irak), sekarang kebalikannya.

Saya berkesimpulan wawancara dengan Menteri Perindustrian dan Perlogaman Irak Amir al Saadi sudah dianggap cukup menggambarkan keadaan Irak ketika AS, Inggris dan berpuluh negara lainnya melancarkan serangan dari udara pada 17 Januari 1991. Meski sudah diserang pesawat tempur sebanyak 72 kali, Presiden Irak waktu itu, Saddam Hussein selamat dan terus memberi semangat kepada seluruh pasukannya. Kalimat sanjungan kepada Saddam terus dikumandangkan. “Birruh wad dam nafdik ya Saddam,” kalimat pujian untuk Saddam Hussein yang berarti “Dengan nyawa dan darah kami tetap membelamu ya Saddam,” terus diteriakkan.

Hari-hari akhir itu, para staf Duta Besar Indonesia untuk Irak, secara bergantian mengundang makan ke kediamannya. Saya juga sempat bertemu dengan mantan Dubes Keliling RI, Supeni di Baghdad yang ingin menghadiri Konferensi Perempuan Internasional.

Serangan 17 Januari 1991 itu juga sempat diungkapkan seorang mahasiswa Indonesia yang namanya tidak ingin disebutkan.

“Udara kota Baghdad waktu pemboman itu terjadi, sangat dingin. Tidak seorang pun menyangka, betapa kota Baghdad yang begitu tenang berubah menjadi kacau,” ujarnya.

Kemudian ia melanjutkan, “saya pun waktu itu berada dalam ketakutan. Semua orang berbondong-bondong ingin pulang ke tanah air. Mereka tinggal angkat barang dan naik mobil gratis. Palang Merah Internasional yang sudah berada di Baghdad bersedia membantu siapa saja yang ingin pulang ke tanah air. Baghdad kelihatan sepi”, paparnya.

Lalu ia melanjutkan keterangannya, “di jalan-jalan penuh orang berlalu lalang dan sesegera mungkin pergi meninggalkan Baghdad. Amerika Serikat dan sekutunya memang telah mengetahui bahwa Baghdad akan mendapat serangan. Teman-teman dekat saya menyarankan agar saya ikut pulang. Saya pasrah dan kadang-kadang berpikir bagaimana caranya mati sebagai syuhada.”

Hari pertama tanggal 17 Januari 1991, jelas mahasiswa itu, saya terbangun dan keadaan sangat kacau. Radio Baghdad sudah tidak begitu lagi terdengar, karena gelombangnya terganggu. Suara-suara dari radio Amerika Serikat, Inggris dan Rusia memberitakan bahwa kedua pasukan sudah saling berhadapan. Tiba-tiba sirene berbunyi dan seluruh Baghdad berada dalam gelap.

Saya mencoba melihat dari asrama. Bola-bola api menyembur ke atas. Kaca jendela asrama saya bergetar dan kain pintu pun ikut bergerak. Sebetulnya peristiwa itu jauh dari tempat saya, tetapi getarannya sempat membuat saya sekali-sekali terangkat dari tempat duduk. Teman yang berada di samping lebih takut dibanding saya. Masker yang diberikan oleh pemerintah Irak, langsung dipakai, karena dia pernah mengalami situasi ketika Irak berperang dengan Iran. Takut kalau perang kimia terjadi lagi.

Saya ikut lari mendengar dentuman dahsyat dari jarak yang tidak begitu jauh. Ketika saya mengintip ke luar, asap tebal nembumbung ke atas. Sebuah instalasi minyak Irak terbakar. Udara malam bagaikan siang hari.Roket-roket meluncur terus ke atas dan pesawat Irak secara bergantian terus memberi perlawanan. Diberitakan bahwa Irak berhasil merontokkan 100 pesawat musuh, meskipun Amerika Serikat mengklaim bahwa pesawatnya hanya satu tertembak.

Di sela-sela perang tersebut, rudal Irak pun beraksi. Getaran-getarannya terasa di asrama saya. Saya pun bertambah takut, kalau-kalau terjadi perang nuklir atau perang kimia.

Pada hari ketiga barulah saya berani keluar, tetapi masih diselubungi rasa takut. Saya pergi ke Kedutaan Besar RI yang sudah kosong. Saya berusaha untuk menyelamatkan beberapa drum bensin yang terletak di belakang kedutaan. Maklumlah di dalam keadaan perang tersebut bensin sangat dibutuhkan. Bahkan boleh jadi, mereka mengambilnya tanpa memberitahu.

(bersambung)

DASMAN DJAMALUDDIN

Jurnalis, Sejarawan dan Penulis Senior

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular