Friday, April 19, 2024
HomeGagasanBERLIAN, Curahan Hati Indra J Piliang

BERLIAN, Curahan Hati Indra J Piliang

indra j piliang cakrawarta

Selama ini, saya tak pernah tahu tentang dunia malam. Selama menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, sampai menjalankan karier sebagai peneliti dan politisi, saya amat sangat jarang memasuki dunia malam. Paling banter saya hanya bernyanyi di karaoke, itupun bersama dengan sahabat-sahabat terbaik. Saya juga tak terbiasa dengan sajian yang diberikan, termasuk minuman keras.

Saya memilih untuk tak menulis tentang kasus yang membuat nama saya, keluarga saya, klan saya, agama saya dan segala sesuatu yang terhubung dengan saya menjadi tercoreng. Saya mohon maaf kepada seluruhnya. Saya mohon ampun kepada Allah SWT atas apa yang saya perbuat di alam fana ini.

Tetapi, mengingat saya mengikuti proses yang belum selesai, saya tentu tak bisa berbuat banyak. Saya hanya perlu menyampaikan, betapa ada sejumlah pihak yang mengalami persoalan besar, bahkan mungkin lebih besar dari saya, terkait dengan masalah hukum dan kesehatan yang terjadi dengan diri saya. Untuk itu, saya perlu menyampaikan ini secara terbuka. Tentu, kalangan yang diluar keluarga besar saya yang sekarang dalam posisi teramat tertekan.

Siapa mereka? Yakni para karyawan (penuh dan paroh waktu) dan non karyawan yang mencari nafkah di Diamond (berlian), sebuah diskotik dan lounge yang jaraknya sekitar 10 menit perjalanan dari rumah saya.

Mereka adalah orang-orang yang mencari hidup di belantara Jakarta. Mereka terdiri dari para office boy and girls, para waiter, para kapten, para security, para juru parkir, para penjual makanan, para sopir (taksi dan grab/uber), para ladies companion, para mami dan pihak-pihak yang menanggung akibat dari kasus saya. Saya selama ini berkomunikasi dan berinteraksi dengan mereka, sekalipun saya tak mengingat nama mereka.

Bagi saya, mereka adalah orang-orang bersahaya. Mereka bekerja bahkan mungkin melebihi upah yang mereka terima. Saya melihat mereka selama ini (sebagian) sangat rajin beribadah, bahkan sama sekali tak pernah meminta uang tips seperserpun dan mungkin juga mayoritas tak pernah mendapatkan uang tips dari saya. Mereka menjadi pelayan yang baik dalam kelamnya dunia hiburan siang dan malam di Jakarta.

Saya meminta maaf kepada mereka, karena atas masalah yang saya hadapi, mereka menjadi tak jelas nasibnya sebagai pencari nafkah di keluarga masing-masing. Rata-rata mereka hanya menempuh pendidikan sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas. Mereka bukanlah orang-orang yang memiliki keahlian khusus, tak menerima juga pelatihan menyangkut bidang pekerjaan yang mereka terjuni.

Banyak di antara mereka yang tak bisa bernyanyi atau menari, sebagaimana pertama kali saya mengenal mereka. Nyanyian yang saya bawakan, seringkali tak dikenal oleh mereka, karena berasal dari masa lalu dalam tajuk Album Kenangan, baik dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, hingga bahasa Inggris, bahasa India dan bahasa Jepang yang saya kuasai.

Dengan sepenuh hati, saya meminta pihak manajemen yang selama ini meraih keuntungan dari keringat mereka, agar memperhatikan nasib mereka. Jangan sampai mereka berserakan di tempat yang lebih nadir lagi, hanya karena pelanggaran hukum yang dikerjakan oleh segelintir pihak, termasuk saya dan anggota-anggota saya yang kini sedang menata kehidupan bersama-sama.

Saya meminta agar mereka menjadi pihak pertama yang penting diperhatikan masa depannya. Sebagian di antara mereka, saya ketahui sedang menanti putra atau putri mereka keluar dari dalam rahim mereka sendiri atau dari pasangan mereka masing-masing.

Biarlah, dalam perang yang tak berkesudahan ini, nama-nama yang gugur adalah sosok-sosok yang layak gugur, tapi bukan kalangan kawulo dan jelata yang selama inipun berada dalam strata kehidupan paling bawah dalam sektor-sektor informal pekerjaan di bumi manusia.

Sungguh, saya tak punya lagi kata-kata yang bisa untuk ditulis dan ditujukan kepada mereka. Tetapi dengan segenap ketulusan jiwa, saya mengaturkan permohonan kepada pihak yang memiliki kewenangan dan kedudukan di manajemen ataupun pemerintahan; agar menempatkan mereka sebagai prioritas pihak yang wajib diselamatkan. Apapun jalan keluarnya, saya menyerahkan kepada pihak yang terkait.

Saya ungguh puisi yang saya tulis 22 tahun lalu, ketika saya baru mengimajinasikan mereka:

Anak-Anak Malam

Gerbang malam sudah terbuka.
Pentaskan parade lampu-lampu-kupu-kupu.
Adegan gaun-gaun tipis menyembulkan kulit-kulit-paha-paha-payudara-payudara putih di sudut-sudut jalanan.
Jarum jam bergeser ke angka minus.

Lama, kau dan aku menatap sepotong rembulan
Yang berdiam diri di pinggir gelombang

Langit mengerdipkan bintang-bintang dengan nakal
Sunyi menggeser kaki-kaki kursi-kursi untuk saling merapat
Dibelai lembut oleh angin dingin Selatan

Mata kelelawar meneropong gumpalan awan-awan dan asap-asap hitam
Yang berdansa riang dengan burung-burung camar dan ikan-ikan di lautan
Sayap basah dan patah perahu nelayan mengalirkan darah biru ke tengah ombak

Hati kita pun biru dan pucat

Mari kembalikan lautan kepada pantainya
Hujan pada awan
Kelam pada malam
Terang pada rembulan

Di pinggir peradaban ini
Kulihat anak-anak malam berpelukan di lantai dansa
Menggulung aspal dengan keringat hitam

Kepiting-kepiting liar dan tikus-tikus selokan
Menyelusup malu kembali ke liang

Lihat
Gemerlap baju-baju ketat
Dan rambut-rambut lebat bergerak cepat
Menghembuskan nafas-nafas berat

Deru suara mobil dipandang tajam oleh pengemis-pengemis lapar
Dan preman-preman pasar yang keluar dari kolong-kolong jembatan
Dan gudang-gudang kolonial
Mereka menghitung gemerincing logam di kantong-kantong tebal anak-anak malam
Dan beradu pedang melawan waktu yang memburu

Dan anak-anak malam kembali ke gerbang
Di saat orang-orang berlalu-lalang dengan mimpi-mimpi panjang
Tentang anak-anak malam yang terbuang ke lobang kakus kehidupan

Dan anak-anak malam kembali ke kamar
Di saat matahari memancar
Membangunkan orang-orang
Untuk membayar petugas-petugas kebersihan
Yang menggosongkan lobang-lobang kakus yang tersumbat

Dan anak-anak malam
Kembali mendengkur
Di saat orang-orang sibuk menghitung setiap detik waktu
Dengan kalkulator-kalkulator dan komputer-komputer yang disinari matahari terbit di Utara

Dan kita bergandengan tangan
Menelusuri pinggiran peradaban
Dan mencatat langkah-langkah kaki kita yang hilang
Bersama waktu

(Puisi ditulis di Lenteng Agung, 12 Maret 1995)

INDRA J PILIANG

Penulis dan Sastrawan Muda

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular