Saturday, April 20, 2024
HomeGagasanBang Fachry Ali

Bang Fachry Ali

 

Dengan buku ini, Bang Fachry Ali sebenarnya sudah mendapat gelar Doktor tanpa harus sekolah S3. Pertama, buku ini ditulis dengan landasan teoretik yang amat kuat yang diambil dari penulis-penulis hebat ilmuwan sosial dunia. Pendapat dari Herbert Feith, Harry J. Benda, Harry Gouldbourne, Richard Robison, Clifford Geertz, Niel Mulder, serta puluhan pendapat ilmu sosial lainnya menjadi landasan dan referensi untuk menyusun buku ini.

Kedua, buku ini menjadi buku pertama yang membedah kekuasaan Indonesia modern dilihat dari perspektif budaya tertentu, yaitu budaya Jawa. Ketiga, buku ini berhasil menciptakan formulasi teoretik yang orisinal tentang sebuah kekuasaan yang berbasiskan budaya dari etnis tertentu (Jawa) padahal kekuasaan tersebut berada dalam sebuah negara yang multietnis.

Keempat, secara fisik buku ini ditulis secara sistematis dengan alur tidak ubahnya sebuah disertasi. Dimulai dari sebuah pendahuluan dan diakhiri dengan kesimpulan yang memuat formula teoretik baru yang dibuat oleh penulis. Teori yang disusun oleh Bang Fachry Ali dalam bab kesimpulan merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh beliau, mengapa penerapan konsepsi kekuasaan Jawa dalam masa Orde Baru berhasil? Ada empat poin jawaban yang diajukan oleh Bang Fachry Ali untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Buku ini diterbitkan tahun 1986, ketika usia Bang Fachry (saya selalu memanggil beliau begitu) baru menginjak 32 tahun. Beliau lahir di Susoh, Blang Pidie, Aceh Selatan, 23 November 1954. Saat buku ini terbit ia masih tercatat sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ciputat. Dengan demikian, buku yang bobot kualitasnya sama dengan disertasi ini lahir dari seorang mahasiswa tingkat sarjana. Menilik dari umurnya, bisa dikatakan Bang Fachry waktu itu adalah mahasiswa abadi, mahsiswa yang tidak lulus-lulus.

Karir akademik Bang Fachry dimulai sejak uisa beliau masih sangat belia. Dalam sebuah obrolan antara saya dengan beliau, beliau mengatakan bahwa tulisan pertamanya yang dimuat di surat kabar terjadi ketika ia masih kuliah semester tiga. Saat itu beliau kuliah di Fakultas Tarbiyah Jurusan Bahasa Inggris, sebelum akhirnya pindah ke Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam. Bisa dikatakan beliau adalah penulis termuda pada zamannya yang tulisannya sudah tersebar di berbagai surat kabar yang terbit di Jakarta. Tulisan-tulisan tersebut lahir dengan mudah dari pikiran Bang Fachry karena beliau adalah seorang pembelajar yang tekun. Hari-harinya dihabiskan untuk membaca surat kabar, majalah, dan buku-buku. Ia mulai membaca surat kabar sejak kelas 4 madrasah ibtidaiyah di Jakarta, saat berumur 10 tahunan.

Walaupun Bang Fachry adalah seorang pembaca yang tekun, namun ia bukanlah pembaca yang duduk diam di kursi dan kurang pergaulan. Sejak usia belia pula ia telah terjun ke masyarakat dalam berbagai kegiatan pemberdayaan. Tulisan-tulisannya lahir karena ia berinteraksi intensif dengan masyarakat. Realita yang ia dapatkan dari masyarakat itulah yang ia tulis setelah mengendap dalam pikiran dan mendapat internalisasi yang cukup.

Sebagian besar mahasiswa IAIN Ciputat pertengahan tahun 1970an mengenal Fachry Ali sebagai mahsiswa aktivis sekaligus juga penulis. Tampangnya waktu itu agak “sangar” karena berambut gondrong ikal. Saat itu ia adalah tokoh teater di kampusnya. Ia kerap mementaskan naskah-naskah drama dari penulis terkenal, dan lebih dari itu Bang Fachry sendiri adalah penulis naskah drama yang handal. Ia menjadikan seni sebagai alat sebagai pemberdayaan dan kritik sosial, sehingga judul-judul naskah dramanya mirip dengan judul buku, seperti Metabolika Sosial, Kabar Buruk dalam Sejarah, Sir George Thompel, dan lain-lain.

Saat masih kuliah juga, ia terjun langsung membina masyarakat di daerah dengan menjadi Tenaga Pembina Lapangan (TPL) LP3ES untuk industri ukir-ukiran di Jepara, selepas itu ia bekerja sebagai staf Dokumengtasi dan Informasi Industri Kecil, dan sesudahnya bekerja pada program penelitian LP3ES. Intensitas menulisnya tiada pupus, bahkan semakin menanjak. Tyulisan-tulisannya tersebar di berbagai surat kabar yang terbit di ibukota, seperti di Kompas, Merdeka, pelita, Majalah Panji Masyarakat, Majalah Prisma, dan lain-lain. Pada tahun 1985 sebagian tulisannya dihimpun oleh sahabatnya, Bang Azyumardi Azra, diterbitkan menjadi buku dengan judul “Agama, Islam dan pembangunan,” oleh penerbit PLP2M di Yogyakarta.

Bang Fachry Ali merupakan kelahiran Aceh, namun pemahamannya mengenai budaya Jawa tidak diragukan lagi. Ia tuntas mempelajari budaya Jawa secara otodidak. Mengapa? Karena ia bukan penganut budaya Jawa namun mampu memahaminya dengan detil, tidak lain tidak bukan karena membaca berbagai referensi serta “membaca” realitas masyarakat Jawa yang ia amati. Penguasaannya terhadap budaya Jawa telah menarik minat sejarawan Australia, M.C. Ricklefs untuk menjadikannya sebagai anak didiknya untuk bidang sejarah di Universitas Monash (Monash University) di Australia.

Ceritanya, pada tahun 1989, Bang Fachry Ali diudang karibnya, Prof Fasseur untuk menyampaikan makalah dalam seminar Late Colonial State di Universitas Leiden. Ia menulis makalah berjudul “Masses without Citisenship: A 19th Century Javanese Islamic Protest Movement.” Makalah tersebut telah menarik perhatian Prof. Fasseur, hingga kemudian beliau menulis surat kepada M.C. Ricklefs , yang intinya, “Kalau anda ingin mencari murid, inilah orangnya.” Orang yang dimaksud Prof. Fasseur tentu saja adalah Bang Fachry Ali. M.C. Ricklefs kemudian berkirim surat kepada bang Facry Ali dan mengundangnya untuk belajar di bawah bimbingannya. Bang Facry pun berangkat ke Australia dan menempuh studi untuk Master di Monash University, Melbourne.

 

PURNAWAN BASUNDORO

Dosen Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya

RELATED ARTICLES

Most Popular