Friday, March 29, 2024
HomeGagasanArnes, Pasangan Anies?

Arnes, Pasangan Anies?

Foto: istimewa

 

Dalam dua bulan ini, saya runtang-runtung dengan sejumlah narasumber utama langit politik Jakarta. Ilmu sejarah mengajarkan berinteraksi dengan tokoh-tokoh penguasa alam demokrasi itu. Mereka saya perlakukan sebagai informan atau narasumber. Saya sembilan tahun menjadi peneliti dan analis politik, selain aktif di sejumlah organisasi masyarakat sipil. Metodologi yang saya gunakan dalam memahami fenomena, peristiwa atau realitas politik kontemporer, semakin kaya. Plus “terjun bebas” sebagai politisi dalam sepuluh tahun ini, seolah membawa saya sebagai participant researcher (peneliti yang terlibat).

Apa yang saya cari dalam dua bulan ini?

Ya, siapa lagi kalau bukan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang kosong itu. Lingkaran politik yang paling menentukan adalah Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS sudah mengajukan dua calon, sementara Gerindra belum disampaikan ke publik (unofficial). Namun, dari “pengelanaan” politik yang saya lakukan, satu nama sudah keluar dari Jalan Kartanegara.

Siapa?

Arnes J Lukman. Pria kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, tanggal 2 Juni 1969 ini, adalah blasteran Minang dan Batak. Saya lupa suku asli ibunya. Suku kakeknya Piliang, sebagaimana Agus Salim, Tan Malaka, Harun Zain, hingga Zainal Bakar. Atau, jangan-jangan dengan menyebut Piliang itu, narasumber saya sedang maangkek talue (berbual-bual). Ayahnya bermarga Nasution. Berasal dari daerah hujan tempat akar Gunung Marapi, Gunung Singgalang dan Gunung Tandikat bertemu, dengan tradisi pedagogi pendidikan Islam laki-laki dan perempuan termoderen di kawasan Asia Tenggara. Arnes memiliki pesantren besar di kampungnya.

Saya ingin tahu lebih jauh tentang keluarganya. Kakeknya ternyata seorang pendekar yang ditakuti dalam era Pemerintahan Revolusioner Rakyat Indonesia (PRRI). Dalam perang ini, kakeknya terbunuh oleh pasukan tentara pusat pimpinan Ahmad Yani yang mendapatkan perintah dari Abdul Haris Nasution. Nasution dan Zulkifli Lubis adalah alumnus Sekolah Raja di Bukittinggi, satu almamater dengan Bung Hatta dan Tan Malaka. Seperguruan, satu ilmu, lalu berperang dalam dua pihak berbeda, bersama Simbolon, Ahmad Djambek dan lain-lain.

“Bermamaklah kalian ke Lubis, Simbolon, dan lain-lain!” begitu ucapan terkenal Bung Hatta, ketika menjawab permintaan PRRI untuk bergabung.

Bung Hatta adalah nasionalis tulen. Salah satu ‘alasan politik’ kehadiran PRRI adalah mengembalikan kedudukan Hatta sebagai Wakil Presiden RI. Hatta menolak setiap upaya pemberontakan. Bagi para tokoh lain yang sehaluan dengan Hatta, PRRI hanyalah “Perang orang Batak melawan orang Batak dan orang Jawa, bertempat di Alam Minangkabau.”

Kakek saya barangkali bersikap seperti Hatta. Tak ingin terlibat. Diam dan mencatat dalam buku harian bertulis tangan yang indah. Kakek adalah pegawai perusahaan kereta api Belanda. Ia menjadi juru tulis. Namun, bagi ayah saya yang berusia 23 tahun ketika PRRI meletus, tentu berbeda. Ayah adalah Sekretaris Partai Masyumi di daerahnya. Sebagai pengagum Mohammad Natsir, dengan Kapita Selekta-nya, darah ayah masih sangat menggelegak untuk ikut membangkang.

Usia Arnes berjarak tiga tahun dengan saya. Saya sudah lama mengenalnya. Ya, pada tahun-tahun ia memulai karier bisnis properti di Jakarta, setelah pulang dari luar negeri. Arnes, seperti Sandiaga Uno, adalah anak-anak Caltex, Rumbai, Riau.

Sejak di kampus, saya mengenal anak-anak Caltex sebagai warga kosmopolitan berkelas dunia. Saya beruntung, ayah memperkenalkan radio-radio berbahasa Inggris sejak kecil. Saya juga ikut berlangganan majalah berbahasa Inggris yang langsung dikirim dari Australia, karena beberapa kali mengisi quiz yang muncul di radio. Walau bukan anak Caltex, tapi setidaknya saya bisa bergaul jugalah dengan orang-orang seperti Arnes dan Sandi.

Entah bagaimana ceritanya, jalan kami bersimpang dalam lima belas tahun ini. Arnes, tentu sambil menertawakan saya dari kejauhan, terus merambah kehidupan bisnis di Jakarta. Namanya malang melintang di sejumlah perusahaan, terutama kelompok Plaza Indonesia. Dalam bingkai cerita ini, tetangga Arnes di Simprug, yakni Soetrisno Bachir dan Jeffrie Geovanie, malah masuk ke “ladang” saya: partai politik. Saya ikut terlibat dalam penulisan buku Soetrisno dan Jeffrie. Begitu juga, saya pernah menulis naskah pidato (speech writer) Hatta Rajasa, ketika maju dalam pemilihan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional di Batam.

Karena sudah mengenal, sebagai ‘teman nongkrong’ di Grand Hyatt, ketika Johan Silalahi mengajak saya bertemu dengan Arnes, saya tak keberatan.

“Arnes mana?” tanya saya kepada Johan.

“Saudara kau itu! Saudaraku juga! Aku dengar, dia yang bakal mendampingi saudaramu Anies,” begitu kata Johan di ujung telepon.

Bingo! Pilpres sudah selesai. Relawanpun bubar. Saya ingin tahu lebih dalam, siapa pendamping Anies. Bukan lewat cerita orang kedua. Langsung dari orang pertama. Pengalaman sebagai Panitia Seleksi Pejabat Tinggi Madya dan Pejabat Tinggi Pratama selama beberapa tahun ini, membuat saya punya pengetahuan, metode dan perangkat intelektual guna menjaring bibit unggul.

Arnes rupanya sudah mempelajari saya dengan elok. Dua orang yang menjadi “pengawal”-nya adalah blasteran: Tionghoa dan India. Keduanya berbahasa Minang dengan fasih kepada saya. Arnes tinggal cengengesan. Tapi tentu dia tidak lolos dari screening saya.

T: “Bener, engku mau menjadi Wagub?”

J: Tidak! Untuk apa? Keluarga aden sudah lima tahun tinggal di luar negeri.

T: “Jadi, bohong cerita dari Jalan Kartanegara itu?”

J: Aden disuruh datang. Pengawal-pengawal 08 yang bertubuh besar dan kekar itu kan orang-orang awak semua. Biasanya, aden selebor. Duduk sembarangan. Nah, ini mereka membujuk-bujuk. Aneh.

Begitu seterusnya. Investigator yang baik, perlu tahu 5W dan 1H dalam seluruh cerita. Saya memberi ponten (nilai) untuk setiap jawaban Arnes. Jawaban ‘tidak’ ingin menjadi Wakil Gubernur bernilai sempurna. Arnespun berucap itu sambil bacaruik bungkang (mengumpat). Dalam pola kepemimpinan Gerindra atau PKS, sama sekali tidak dikenal ambisi. Pilihan Prabowo dalam mengusung calon-calon kepala daerah sering mengejutkan. Jokowi – Ahok, tiba-tiba. Anies – Sandi, pilihan malam terakhir.

Saya kenal Prabowo Subianto sudah lama, pun sejumlah petinggi PKS. Refrizal Sikumbang, Majelis Syuro PKS, adalah paman saya dalam keluarga inti lima nenek. Rumah kami berseberangan. Refrizal yang besar di Jakarta mencetak banyak alat peraga buat Partai Keadilan (plus PKS), dari usaha keluarga di Pulo Gadung, sejak 1999. Alat-alat peraga saya dalam politik juga dicetak disana dengan harga korting. Mustafa Kamal, Sekjen DPP PKS kini, adalah Ketua Senat Mahasiswa FSUI 1994/1995. Saya? Adalah Sekretaris Umum SM FSUI 1994/1995, alias orang kedua. Presiden PKS saya kenal ketika aktif di Yayasan Paramadina.

Relasi ke-Muhammadiyah-an saya gali lewat hubungan Arnes dengan tetangganya: Jeffrie dan Soetrisno. Sebagaimana komunitas epistemologis yang cenderung memilih lingkungan mirip, begitu pula dengan komunitas relegius. Arnes bercerita soal ibunya, orang Pariaman, sama dengan asal ibu saya. Pesantren keluarganya tentu saya tidak gali. Agak pantang bagi orang-orang Minang bertanya lebih jauh tentang surau dan mesjid. Sesekuler apapun kami, tetap saja termasuk kategori santri yang mengenali ajaran agama sejak kecil.

Minangkabau memiliki tiga raja: Raja Alam, Raja Adat, dan Raja Ibadat.

Alam terkembang menjadi guru.

Bulat air ke pembuluh, bulat kata ke mufakat.

Ponakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat beraja ke Yang Benar.

Yang Benar? Berdiri sendiri.

Adat bersendi sarak’ sarak bersendi kitabullah.

Se-Madilog apapun Tan Malaka, ia adalah guru mengaji. Se-internationale apapun nyanyian orang-orang yang berontak di Silungkang, tetap saja mereka adalah saudagar yang bergelar haji, dengan pemahaman Pan Islamisme yang di atas rata-rata.

Anies saya lihat bergelimang dengan urusan birokrasi. Anies, bagi saya, bukan orang Jakarta, dibandingkan dengan saya yang sudah berdagang gerobak sate Padang di Pancoran, Glodok, sejak 1991. Walau kakeknya adalah tokoh perintis kemerdekaan, Anies jelas lebih mengingat rumah kedua orang tuanya yang guru itu sebagai tempat berkumpul dengan teman-temannya.

Anies dikenali kalangan aktivis gerakan mahasiswa 1990an, termasuk anak-anak Jakarta, karena saya undang sebagai pembicara di UI tahun 1994. Saya bertemu dengan Anies tahun 1993 di Universitas Brawijaya, Malang, bersama Bagus Hendraning dan Fadli Zon. Beberapa kali ia datang dalam diskusi lain, termasuk di kantor ISAFIS yang dipimpin Fadli. Ketika Anies sedang menulis disertasi tentang desentralisasi, saya berkomunikasi intensif via email. Sampai Anies menjadi visiting fellow di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), tempat saya bekerja.

Arnes? Betul, ia anak Caltex, tetapi kuliah di Universitas Padjajaran, Bandung. Ia bolak-balik Jakarta-Bandung, jarang ke Padang atau Dumai. Ketika saya masih sibuk “mengurusi” pedagang-pedagang Pasar Tanah Abang yang saban hari demo di Kebon Sirih dalam era Gubernur Sutiyoso, berikut beroposisi terhadap pemagaran Monas dan impor seekor Gorilla seharga Rp 3 Milyar bersama kelompok Satu Merah Panggung pimpinan Ratna Sarumpaet, Arnes sedang membangun jantung kota Jakarta paling moderen setelah Sarinah dan Blok M, yakni Plaza Indonesia. Sarinah? Sudah dibangun oleh Abdul Latief, orang Minang juga.

Arneskah yang bakal mendampingi Anies?

Saya tidak tahu. Yang saya tahu, 88% etnis Minang memilih pasangan Anies–Sandi, berdasarkan data exit poll. Etnis yang terbanyak “mengalangkan leher” kepada pasangan ini. Etnis yang paling egaliter, lalu – ajaib – tiba-tiba solid dalam aroma Pilgub DKI Jakarta. Etnis-etnis lain yang menghuni kampung Jakarta, tidak sesolid etnis Minang. Etnis yang juga langsung setia berbaris, termasuk dengan hanya menyisakan 9% pemilih untuk Jokowi-Ma’ruf di Sumatera Barat. Ketika mendukung Anies – Sandi, saya bagai Pangeran Pariaman yang punya bejibun pasukan, baik di Jakarta, ataupun di belahan dunia lain. Berkebalikan, ketika mendukung Jokowi – Ma’ruf, saya seperti kue panggang: dibakar di atas kepala, dialiri api di bawah pantat.

Jokowi kini sedang menggerakkan kemandirian dan pemerataan ekonomi. Ibukotapun dipindahkan demi tujuan itu. Anies? Terlihat kesulitan menata pedagang kaki lima di Tanah Abang. Pedagang yang ia kenali dengan baik sebagai pemilih ideologis. Birokrasi bisa dikendalikan Anies. Infrastruktur bisa dikerjakan pihak swasta. Tapi, bagaimana berdialog dan berhadapan dengan saudagar-saudagar, pedagang-pedagang, serta kelompok intelegensia Jakarta, dalam rumpun lingua franca yang dikenali ibu mereka?

Kenapa intelegensia? Karena begitu banyak kampus swasta yang didirikan oleh saudagar-saudagar Minang di Jakarta. Pressure group dan critical group apapun, selalu saja secara genetik berinduk ke Minang. Belum lagi generasi millenial yang begitu riuh. Gustika, cucu Bung Hatta, adalah satu di antaranya.

CSIS, tempat saya bekerja selama sembilan tahun, juga salah satu “Pusat Studi Bahasa Minang” dari jajaran pendiri, pengelola, hingga penelitinya. Jusuf Wanandi dan Sofyan Wanandi berasal dari heritage berkelas UNESCO, kota tambang Sawahlunto. Kota yang mempersembahkan Muhammad Yamin, Adinegoro, hingga Soedjatmoko kepada khazanah literasi bangsa Indonesia.

Arnes, menurut saya, bisa menjadi penyambung lidah pendidikan Anies ke tutur model saudagar dan pedagang kaki lima Minang di pasar-pasar ekonomi Jakarta yang satu pelita lagi bukan daerah khusus ibukota. Arnes bisa bacaruik, sebagaimana juga Azis Syamsuddin dan HR Agung Laksono yang menempuh pendidikan menengah di Padang. Aksara yang dipakai Rizal Ramli, Emil Salim, Hasyim Djalal, Arbi Sanit, hingga Generasi X seperti Muhammad Luthfi, Andrinof Chaniago, Muhammad Chatib Basri, dan Dino Patti Djalal, ketika kesal.

Tentu, bukan Minang dalam artian kelompok homogen lagi. Minang yang sudah mengalami akulturasi, kosmopolitanisasi, hingga diaspora, seperti Alcandra Tahar Piliang. Minang yang beripar-besan, berurang-sumando, dengan banyak etnis lain. Minang, mungkin hanya pintu masuk saja. Sementara di dunia bisnis yang paling riil, begitu juga perkembangan baru ke depan, terdapat China dan India sebagai kekuatan kolaboratif.

Ya, seperti dua orang yang menemani Arnes. Mereka berlidah Minang, dalam bahasa Padang. Satu berkulit kuning bermata sipit, satu lagi berkulit lebih legam dari sawo matang. Dua genetika bertetangga yang menyumbang jumlah manusia terbanyak pertama dan kedua saat ini. Satu ahli di bidang properti, satu lagi jagoan di bidang garmen. Satu tukang bangunan (papan), satu tukang jahit (sandang). Entah sengaja atau tidak, Arnes dalam perjumpaan lagi setelah bertahun lalu itu hanya bergelak-gelak. Dua orang yang mendampinginya, jauh lebih kuat tampil sebagai visi dan tujuan, ketimbang 40 hingga 50 halaman visi dan misi. Arnes tidak perlu berbicara banyak lagi, dalam sisa waktu yang penuh kerja ini.

Kalau bukan Arnes, siapa?

 

JAKARTA, 6 November 2019

 

INDRA J. PILIANG

Direktur Sang Gerilya Syndicated

RELATED ARTICLES

Most Popular