Saturday, April 20, 2024
HomeEkonomikaAPT2PHI: Polri Harus Profesional Usut Kasus Beras Oplos Pasar Induk Cipinang

APT2PHI: Polri Harus Profesional Usut Kasus Beras Oplos Pasar Induk Cipinang

Ketua Umum Asosiasi Pedagang (APT2PHI) Rahman Sabon Nama.
Ketua Umum Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Holtikultura Indonesia (APT2PHI) Rahman Sabon Nama.

JAKARTA – Kasus beras oplosan yang terjadi di Pasar Induk Cipinang Jakarta Timur memasuki babak baru. Terakhir, Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia (Bareskrim Polri) menetapkan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional (Divre) Jakarta dan Banten sebagai tersangka korupsi dan pencucian uang kaitannya dengan kasus beras oplosan ini.

Terkait kasus tersebut, Bareskrim Polri memanggil semua penyalur Bulog atau pedagang sebagai saksi terkait dugaan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Ketua Umum APT2PHI (Asosiasi Pedagang dan Tani Tanaman Pangan dan Hortikultura Indonesia) Rahmna Sabon Nama meminta agar Bareskrim Polri harus profesional dalam penanganan kasus dan fokus pada pelaku agar tidak menimbulkan keresahan bagi pedagang penyalur Bulog.

“Ini penting saya kira karena mereka membeli beras Bulog sesuai dengan harga yang ditetapkan Pemerintah dan ikut menstabilkan harga beras melalui operasi pasar,” ujar Rahman Sabon Nama kepada redaksi cakrawarta.com, Minggu (23/10/2016) sore.

Rahman Sabon menilai Mabes Polri keliru menjadikan 48 pedagang dan penyalur Bulog sebagai saksi kasus korupsi dan pencucian uang. Hal tersebut menurutnya menimbulkan pertanyaan apa yang dikorupsi dan pencucian uang siapa karena para pedagang ini membeli sesuai dengan patokan harga Bulog dan menjual dengan selisih harga antara Rp 30 hingga Rp 50 per kilogramnya.

“Seharusnya mereka diapresiasi karena telah memiliki andil dalam menyukseskan tugas pokok Bulog dalam stabilisasi harga pangan dan beras turut bersama Bulog di berbagai daerah di Indonesia,” tegas pria kelahiran Nusa Tenggara Timur itu.

Akar masalah kasus beras oplosan ini menurut Rahman Sabon berasal dari kesalahan pemerintah yang menjual beras melalui sistem kawin (oplos)yaitu beras impor kualitas komersial broken 5% dikawin dengan beras OP broken 15%. Kebijakan tersebut dalam penilaian pihak APT2PHI sangat merugikan pedagang mengingat jika pedagang membeli beras pada Bulog sama dengan memberi subsidi pada pemerintah.

Dijelaskan oleh Rahman Sabon, dikarenakan sesama beras impor tidak bisa dicampur atau dioplos sehingga akan merugikan dan tidak laku dijual di pasaran makanya pedagang mengganti dengan mencampur (mengoplos) beras impor dengan beras lokal dalam negeri dan pekerjaan ini dilakukan oleh hampir semua pedagang beras dan penggilingan padi.

“Hemat saya, Pemerintah perlu keluarkan kebijakan bahwa penjualan beras dengan sistem kawin/campur dibolehkan dengan persentase perbandingan tertentu sehingga tidak menjadi masalah seperti sekarang dan harus diawasi oleh Bulog secara ketat,” harap Rahman Sabon mewakili suara APT2PHI.

Untuk diketahui, setelah semua penyalur Bulog dipanggil Bareskrim Polri malah berdampak dengan berhentinya pasokan beras Bulog ke pasar sehingga kondisi ini memicu kenaikan harga beras kualitas baik sebesar Rp 500/kg. Selain itu, para pedagang beras di daerah atau antar pulau menjadi takut menerima beras dari Pasar Induk Cipinang dengan dalih khawatir jika berasnya sudah dioplos dengan beras Bulog sehingga bisa bermasalah dengan polisi.

Kini perdaganganan beras antar pulau menjadi sepi sehingga buruh pekerja banyak yang menjadi penggangguran. Bahkan para pedagang dan penyalur Bulog banyak yang ketakutan menjadi penyalur Bulog semenjak semua penyalur Bulog dapat surat pangilan dari Bareskrim Polri.

Mengingat kondisi yang justru memprihatinkan tersebut, pihak APT2PHI mendesak dilakukan pengusutan untuk menjawab pertanyaan mengapa beras impor kualitas jelek tidak laku dijual oleh Bulog dan harus dijual dengan sistem kawin yang mengakibatkan terjadinya oplosan beras impor dan beras lokal oleh pedagang.

“Polri harus bisa menempatkan antara tugas dan tanggung jawab kebijakan Bulog dalam membela konsumen dan melindungi produsen di satu sisi serta dugaan korupsi dan pencucian uang di lain sisi. Karena pangan dan beras adalah kebutuhan pokok strategis yang rentan terhadap in akibat gejolak harga yang terjadi. DPR harus turun tangan mengawasi prosesnya,” pungkas Rahman Sabon.

(bm/bti)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular