Friday, March 29, 2024
HomeGagasanApa Jadinya Indonesia Tanpa KMP?

Apa Jadinya Indonesia Tanpa KMP?

mpr450

Mari Sejenak Menoleh ke Belakang

Senin 14 Juli 2014, lima hari pasca pencoblosan Pilpres, Koalisi Permanen Merah Putih dideklarasikan di Tugu Proklamasi Jakarta dan dihadiri oleh seluruh Pimpinan Partai Politik dan Fraksi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, termasuk Partai Demokrat. Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dalam Pilpres 2014, dengan penuh kesadaran menyatakan sikap politik dan ideologisnya bahwa KMP akan tetap bergandengan tangan membangun koalisi permanen, baik jika menang atau pun kalah dalam Pilpres.

Koalisi ini akan tetap bersatu baik dengan mengambil bagian dalam pemerintahan ataupun berada di luar pemerintahan. Kesamaan visi dan misi kebangsaan untuk mengawal Negara Bangsa agar tetap berada pada rel cita cita Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika adalah semangat yang merekatkan KMP untuk tetap selalu berada dalam jalan yang sama membangun nengeri.

Selasa 22 Juli 2014, KPU menetapkan keputusan berdasarkan hasil perhitungan suara, bahwa pasangan Prabowo-Hatta kalah dalam Pilpres. Sebagai warga negara yang taat azas dan hukum, KMP menempuh jalur hukum dengan melakukan gugatan hasil Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Kamis 21 Agustus 2014, MK membacakan putusannya atas gugatan hasil Pilpres yang menyatakan bahwa Putusan KPU yang menetapkan pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia berkekuatan hukum Tetap. Detik usai dibacakan putusan MK tersebut, KMP langsung menyatakan menerima hasil putusan MK dan mengakui pasangan Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih.

1 Oktober 2014, MPR, DPR dan DPD hasil pemilihan pemilu Legislatif dilantik, KMP langsung menunjukkan kerja kerja kebangsaannya dengan memilih berada di luar kekuasaan untuk menjadi kelompok penyeimbang bagi pemerintah.

KMP menyadari sepenuhnya bahwa posisi terbaik untuk terlibat aktif mendorong pemerintah yang progresif, adalah dengan cara menguasai penuh lembaga legislatif. Hasil kerjasama dan itikad kuat yang bergelora di dada seluruh elemen koalisi permanen KMP, membuahkan hasil gemilang dengan terpilihnya seluruh pimpinan MPR dan DPR dari KMP, begitu juga dengan DPD.

KMP meyakini perbedaan cara pandang antara legislatif sebagai lembaga pengawas dan eksekutif sebagai penyelenggara pemerintahan, akan melahirkan dialektika yang positif bagi kemaslahatan rakyat Indonesia. Eksekutif dan legislatif memang tak boleh dikuasai oleh satu kelompok yang sama, karena akan cenderung melahirkan persekutuan tak suci yang bisa merugikan rakyat. Sikap KMP ini juga dilandasi oleh refleksi kritis atas problem presidensialisme multi partai, sehingga mempertahankan dua kutub koalisi adalah bagian dari penyederhanaan proses politik yg akan mempermudah dan mengefektifkan komunikasi Pemerintah dengan Parlemen. Begitu kompleksnya entitas kekuatan dalam parlemen multi partai, membuat proses politik akan sangat rumit. Maka KMP hadir untuk menyederhanakan saluran komunikasi pemerintah ke Parlemen.

Untuk menunjukkan itikad yang baik, bahwa keberadaan KMP semata mata dalam rangka mengawal pemerintahan dengan menjadi penyeimbang di luar kekuasaan, telah nyata ditunjukkan oleh seluruh ketua umum Parpol KMP dengan menghadiri pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih bapak H. Joko Widodo dan bapak H.M. Yusuf Kalla pada tanggal 20 Oktober 2014 di Gedung DPR/MPR RI.

Hingga hari ini sudah hampir satu setengah tahun perjalanan KMP mengisi dinamika politik Indonesia dari Pusat hingga Daerah. Dalam perjalanan, rintangan datang tiada henti, masalah datang bertubi tubi mengusik keheningan masing masing parpol. Tuduhan bahwa KMP memiliki misi untuk menjegal pemerintah terus didengungkan oleh kaum adventurisme politik.  Namun komitmen kuat sebagai kesatria, disertai keyakinan yang teguh atas komitmen bersama membangun koalisi permanen, membuat KMP selalu menjadikan masalah sebagai ajang konsolidasi. Tiap tuduhan selalu dijawab dengan kerja kerja kebangsaan. Dalam keadaan sesulit apapun, tidak ada masalah dan sikap politik yang tidak dikomunikasikan secara bersama. Masalah masalah strategis kebangsaan selalu dibahas dalam sidang pleno presidium KMP yang diisi oleh unsur pimpinan tertinggi partai politik. Semakin besar masalah yang menghadang membuat semakin besar pula semangat kebersamaan.

Dari hari ke hari -menimbang problematika sosial, ekonomi, politik dan hukum- yang sedang dialami oleh rakyat dan bangsa Indonesia, membuat KMP semakin yakin bahwa sikap politik dan keberadaan KMP telah berada di jalur yang benar bagi kemaslahatan rakyat banyak. KMP akan tetap loyal mendukung pemerintah dengan tetap setia di garis massa sebagai penyeimbang di luar kekuasaan.

Quo Vadis KMP-KIH: Konservatif versus Liberal

Pemilihan Umum Presiden tahun 2014 adalah tonggak sejarah perubahan sosial-politik di Indonesia. Pilpres 2014 -yang diikuti oleh hanya dua pasangan calon- tidak hanya mengakibatkan terjadinya pembelahan secara dikotomik di level masyarakat politik peserta Pemilu. Pilpres ini juga mengakibatkan terjadinya pembelahan di seluruh pengelompokan sosial politik lain di tanah air. Mulai dari gerakan sosial, Organisasi Masyarakat, hingga dunia usaha dan bahkan dunia jurnalisme ikut terbelah.

Pertarungan antara dua blok politik ini semakin menguat dalam perebutan Pimpinan di Lembaga Perwakilan. Sebagaian pengamat memaknai pertarungan di Parlemen sebagai aksi balas dendam kubu pendukung Prabowo-Hatta yang kalah dalam Pilpres namun menguasai lebih dari separuh kursi di Parlemen. Dan sebagaian yang lain justeru menganggap pembelahan tersebut sebagai sebuah dialektika maju bagi peradaban politik baru di Indonesia.

Di balik pertarungan yang terlihat seakan Zero Sum Game dan saling negasi menegasi antara KMP dan KIH, sesungguhnya terdapat sebuah tesis baru yang menarik untuk didalami. Pertarungan dua kelompok ini sesungguhnya merupakan sebuah perseteruan dialektik yang sehat dan maju bagi peradaban politik baru di Indonesia. Perseteruan antara KMP dan KIH adalah pertarungan tentang dua cara berfikir yang akan menguntung bagi rakyat. Pembelahan dikotomik tersebut akan memaksa ke -dua kubu untuk berlomba menjadi yang terdepan melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan massa rakyat. Perseteruan ini akan melahirkan sintesis maju bagi masa depan peradaban sosial politik di Indonesia.

Kenapa perseteruan ini disebut sebagai pertarungan tentang dua cara berfikir? Hal tersebut dapat di lihat dari kecenderungan terbentuknya pengelompokan sosial politik baru yang mengikuti pola geneologi gerakan di Indonesia, di mana berbagai entitas sosial politik mengelompokan diri pada salah satu dari dua kutub politik mengikuti kecendrungan kesamaan cara pandang.

Jika kita tarik ke belakang, di mana geneologi pengelompokan politik di Indonesia dapat kita baca dalam pola sosialis-nasionalis-agama atau kiri-tengah dan kanan, maka fenomena KMP dan KIH ini merupakan sintesis dari dialetika antara tiga geneologi tersebut.

Kelompok tengah dan kanan yang mempertahankan ide-ide dasar nasionalitas kebangsan (Nasional-Demokrasi) menyatukan diri dalam kubu KMP mengikuti kesamaan cara pandang yang demokratis-konservatif. Kelompok ini menjadi penting keberadaannya di Indonesia mengingat tahap ideologisasi yang paling mungkin ditawarkan di tengah masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari deideologisasi pasca otoritarianisme adalah konservatisme.

Itulah penjelasan kenapa kebanyakan partai berbasiskan agama dan berhaluan Tengah bersatu dengan sangat kuat dalam KMP. Lalu di sisi yang lain tersisa kelompok kiri yang membentuk aliansi Sosial-Demokrasi- yang lebih membuka diri terhadap ide dan isu internasional tentang kebebasan dengan mengintroduksi ide-ide liberal dan kemanusiaan dalam arti yang luas (Demokratik-Liberal).

Pembelahan ini maju bagi peradaban sosial politik di Indonesia karena pola pengelompokan politik di Indonesia akhirnya mampu melepaskan diri dari pertarungan politik sektarian yang berbasiskan identitas dan nilai- penyakit sosiologis lama yang menghambat terbentuknya tatanan sosial masyarakat rasional. Inilah gelombang ke tiga demokratisasi di Indonesia. Di mana masyarakat tidak lagi terkungkung dalam pertarungan politik sektarian yang tidak sehat.

Kita dapat menemukan hal yang sama terjadi di negara-negara yang peradaban politiknya sudah maju. Di mana akhir dari transisi menuju demokrasi akan berujung pada terbentuknya dua kutub politik masyarakat dan atau meninggalkan hanya dua partai politik besar. Jika kita mengambil Amerika Serikat sebagai contoh ideal negara yang sudah lama membangun peradaban demokrasi, maka di sana hanya ada dua partai politik yaitu Partai Republik yang konservatif mempertahankan bangunan dasar nilai dan Nasionalitas kebangsaan Amerika Seikat dan di sisi yang lain adalah Partai Demokrat yang mengadaptasi kemajuan dengan mengintroduksi ide-ide liberal dan keterbukaan.

Di Amerika Serikat, jika Partai Demokrat memenangkan eksekutif maka Partai Republik cenderung akan menguasai Parlemen. Penguasaan eksekutif dan parlemen secara dikotomik oleh dua kutub politik yang berbeda bukanlah cerminan politik balas dendam dan bagi kuasa, namun lebih sebagai keniscayaan sistem checks and balances antara dua cabang kekuasaan. Frame yang dimiliki eksekutif memang tidak boleh sama dengan frame yang dimiliki oleh legislatif, hal tersebut penting agar tidak terjadi persekongkolan antara eksekutif dan parlemen, sehingga pengawasan Parlemen atas kerja kerja Eksekutif sebagai lembaga yang memiliki otoritas penuh mengelola Anggaran dapat dilakukan dengan baik. Di sinilah urgensi kenapa partai penguasa di eksekutif harus berbeda dengan partai yang menguasai parlemen.

Kontradiksi memang harus dipertajam antara dua cabang kekuasaan demi lahirnya sebuah sintesis baru yang akan menguntungkan bagi masyarakat sebagai objek dari dialektika dinamis antara dua kutub.

Di Indonesia, pembelahan ini menjadi penting karena pengalaman Sistem Presidensial multi partai merupakan problem mendasar bagi tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien. Pembelahan antara KMP dan KIH merupakan bentuk maju bagi penyederhanaan partai politik agar sistem presidensial yang meletakkan kekuasaan yang sangat besar dan kuat pada Presiden-sebagai lembaga yang memiliki kuasa penuh atas distribusi APBN, pengelolaan birokrasi, militer dan polri- dapat diawasi dengan efektif dan kuat juga oleh Parlemen.

Kekuasaan yang besar (presidensial) sesungguhnya akan cenderung korup jika tidak mendapat pengawasan yang kuat dari Parlemen sebagai daulat kuasa rakyat. Untuk itu sinisme akan keberadaan KMP yang menguasai penuh Pimpinan di lembaga perwakilan menjadi tidak relevan secara akademik karena tidak ada pemerintah yang baik tanpa adanya Lembaga Pengawas yang kuat, dan Parlemen yang efektif adalah Parlemen dengan sistem penyederhanaan partai.

Bayangkan Indonesia Tanpa KMP

Membaca situasi nasional dari hari ke hari. Kegaduhan tiada henti yang mengikuti jejak pemerintahan Jokowi-JK sesungguhnya adalah ketidakdewassaan berpolitik salah satu kubu yang masih belum bisa menerima keberadaan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah yang berkuasa. Operasi mengejar credit point mempertahankan klik kuasa di hadapan Presiden adalah cerita dominan di balik berbagai kisruh.

Kita bisa baca mulai dari kisruh Golkar, kisruh PPP, hingga yang terakhir serangan telak yang mengenai tepat jantung dan titik nadir simbolisasi kekuatan KMP di Parlemen. Apa yang menimpa Setya Novanto (SN) sesungguhnya merupakan serangan mematikan yang sukses menghancur-buyarkan kekompakan KMP.

MKD yang seluruh unsur pimpinannya dibentuk dari konsensus perjuangan KMP berhasil dibikin gaduh, cair dan berseberangan saling mencurigai. Putusan MKD atas kasus SN akhirnya tidak ada hubungan dengan proses verifikasi bukti dalam gelar persidangan terbuka penuh aib. Namun persidangan yang lebih dimaksudkan untuk mencipta persidangan opini dan media ini telah sukses menghancurkan moral tidak hanya SN, akan tetapi KMP sebagai sebuah kesatuan entitas. Kekuatan KMP menjadi begitu cair di Parlemen.

Masyarakat terlena kehilangan kesadaran bahwa melemahnya kekuatan KMP di parlemen sesungguhnya akan berakibat pada melemahnya pengawasan rakyat atas jalannya pemerintahan. Kekuatan yang powerfull dimiliki oleh presiden beserta group kepentingan sebagai penunggang di belakangnya akan semakin merajalela tak terawasi.

KMP butuh waktu untuk pulih mengembalikan kepercayaan diri dan juga rakyat agar bisa tampil kembali dengan kepala yamg menengadah pasca kejadian SN. Sementara itu partai partai di dalam KMP yang sudah mulai cair sangat berpotensi untuk ditarik masuk menjadi bagian pemerintah.

Indonesia tanpa KMP akan menjelma menjadi one dimentional power, di mana pemerintah akan berselancar tanpa kekuatan penyeimbang. Rakyat tak lagi memiliki wakil di DPR untuk mengontrol jalannya pemerintahan, karena wakil-wakilnya kini telah menjadi bagian dari pemerintah yang berkuasa.

POETRA ADI SOERJO

Tenaga Ahli Pimpinan DPR RI 2014-2019

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular