Friday, April 19, 2024
HomeGagasanAnggoa DPR Harus Lebih Banyak Memahami Sejarah

Anggoa DPR Harus Lebih Banyak Memahami Sejarah

Paham dan tahu akan sejarah, sudah tentu pengertiannya sangat berbeda. Paham berarti memahami sekali falsafah, latar belakang dan akar masalah kenapa sebuah peristiwa itu lahir. Sementara tahu, hanya sekedar mengetahui, bahwa sebuah peristiwa telah terjadi.

Seandainya saja kita memahami apa yang menjadi latar belakang lahirnya konsep “Trisila,” dan “Eka Sila,” yang sebelumnya dimuat dalam pasal Rancangan Undang Undang (RUU) Haluan Ideoligi Pancasila, sudah tentu tidak mungkin dicantumkan.

Tetapi nasi telah menjadi bubur dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah juga sepakat dengan kritik beberapa elemen masyarakat, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), untuk menghapus pasal yang mengatur ciri pokok Pancasila menjadi “Trisila” dan “Ekasila” dalam RUU HIP tersebut.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menyebut sikap itu diambil karena partainya mendengarkan seluruh aspirasi masyarakat terkait polemik RUU HIP yang sedang dibahas di DPR RI.

“Dengan demikian terhadap materi muatan yang terdapat di dalam Pasal 7 RUU HIP terkait ciri pokok Pancasila sebagai Trisila yang kristalisasinya dalam Ekasila, PDI Perjuangan setuju untuk dihapus,” kata Hasto dalam keterangan tertulis, Minggu, 14 Juni 2020.

Dalam draf RUU HIP tanggal 20 April 2020, Trisila dan Ekasila diatur dalam pasal 6. Pada ayat (1), RUU itu menyebut ada tiga ciri pokok Pancasila yang bernama Trisila, yaitu ketuhanan, nasionalisme, dan gotong-royong. Lalu pada ayat (2), Trisila dikristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong.

Juga yang penting, Hasto menyampaikan PDIP juga menerima aspirasi terkait ketiadaan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme sebagai konsideran. PDIP sepakat RUU HIP melarang paham-paham seperti komunisme.

“Demikian halnya penambahan ketentuan menimbang guna menegaskan larangan terjadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila seperti marxisme-komunisme, kapitalisme-liberalisme, radikalisme serta bentuk khilafahisme, juga setuju untuk ditambahkan,” tuturnya.

Sebelumnya, RUU HIP menjadi inisiatif DPR RI setelah disahkan Rapat Paripurna pada 12 Mei 2020. Saat ini, pembahasan RUU itu menunggu surat presiden dan daftar inventaris masalah yang masih digodok pemerintah.

Dalam perjalanannya, RUU HIP menuai kritik. Fraksi PAN dan Fraksi PKS menolak membahas RUU itu karena tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme atau Marxisme-Leninisme sebagai konsideran.

Kemudian beberapa ormas Islam juga ikut mengkritik RUU HIP karena dinilai berusaha menghapus Sila pertama. Alasan itu berdasarkan Pasal 6 RUU HIP yang mengatur Trisila dan Ekasila.

“Pembukaan UUD Tahun 1945 dan batang tubuhnya telah memadai sebagai tafsir dan penjabaran paling otoritatif dari Pancasila. Adanya tafsir baru dalam bentuk RUU HIP justru telah mendegradasi eksistensi Pancasila,” demikian Maklumat Dewan Pimpinan MUI Pusat dan MUI Provinsi Se-Indonesia, pada Jumat, 12 Juni 2020.

Memahami Sejarah Lahirnya Pancasila

Sebelumnya di luar anggota DPR RI banyak pula anggota masyarakat menentang RUU HIP tersebut. Dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi masyarakat Islam lainnya, juga dari Purnawirawan TNI-Polri tentang RUU HIP.

Buat Purnawirawan TNI-Polri yang berhadapan langsung dalam penumpasan G.30.S/PKI, dalam pernyataannya menegaskan, bahwa sisa-sisa PKI terus-menerus berusaha untuk bangkit dengan menyusup kepada parta-partai politik yang ada, manuver politik mereka yang terkini adalah mengangkat RUU HIP dan menolak mencantumkan TAP MPRS XXV/1966 sebagai konsideran.

Sementara itu kelompok Liberal Kapitalis lewat empat kali amandemen UUD 1945 telah berhasil meminggirkan “roh” Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dalam kehidupan berbangsa-bernegara, menggantikannya dengan individualisme-liberalisme-kapitalisme.

Kapital besar yang mereka miliki pada kenyataannya mampu mengendalikan dinamika sosial, politik dan ekonomi. Kebebasan nyaris tanpa batas yang dibuka oleh liberalisme telah menimbulkan turbulensi ideologis yang luas dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi nasional. Kondisi terkini yang antara lain ditandai oleh maraknya kegaduhan di dalam masyarakat terkait isu TKA China ditengah maraknya PHK selama pandemik Covid-19 dan merebaknya isu kebangkitan PKI, telah dimanfaatkan oleh kelompok radikal, sisa-sisa PKI, serta kelompok separatis Papua untuk lebih memperkeruh situasi.

Menurut Purnawirawan TNI-Polri, “kondisi ini merupakan ancaman nyata terhadap kehidupan bermasyarakat- berbangsa-bernegara dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila serta semangat Bhinneka Tunggal Ika. “

Tentang “Trisila” dikristalisasi dalam “Ekasila,” yaitu gotong-royong, itu benar. Sejarah yang membuktikannya. Itulah pencarian seorang Bung Karno sebagai seorang visioner dan kaya akan gagasan-gagasan. Tetapi bukankah pada akhirnya, Bung Karno pada 1 Juni 1964, menyatakan bahwa 1 Juni adalah hari libur, karena Hari Lahirnya Pancasila.

 

DASMAN DJAMALUDDIN

Sejarawan dan Jurnalis Senior

RELATED ARTICLES

Most Popular