Friday, March 29, 2024
HomeGagasanAnatomi Radikalisme di Indonesia (Selesai)

Anatomi Radikalisme di Indonesia (Selesai)

 

Penutup

Senapan memang bisa membunuh teroris, tetapi tidak ideologinya. Radikalisme berakar dari ideologi salafi yang didirikan oleh Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan menjelma menjadi gerakan revolusioner di tangan Muhammad Ibn Abd Wahhab (1701 – 1793 M). Ideologi salafi yang tidak toleran, absolutis, dan puritan membentuk cara berpikir radikal. Radikal adalah separo modal untuk menjadi teroris. Salafi dengan programnya yang keras menentang ‘syirik kubur’ dan amaliah bid’ah akan naik kelas menjadi jihadis begitu terpapar doktrin ‘syirik undang-undang’ yang merupakan materi tauhid hâkimiyah. Seorang jihadis akan menjadi teroris begitu siap melakukan ‘amaliah’ teror dengan iming-iming syahid, bidadari, dan surga.

Terorisme berakar dari doktrin-doktrin jihad qitâl yang dibangun Ibn Taimiyah (1263–1328 M) dan Sayyid Quthb (1906-1966 M), tauhid hâkimiyah Abu A’la al-Mawdudi (1903-1979 M), dan juknis jihad Abdus Salam Farag (1954-1982 M). Di tengah situasi perang, doktrin ini berkembang di tangan Abdullah Azzam (1941-1989 M), Abdurrab Rasul Sayyaf (lahir 1946 M), Usamah bin Ladin (1957-2011 M), Ayman al-Zawahiri (lahir 1951 M), dan Abu Bakar al-Baghdadi (1971-2017 M). Perang global melawan terorisme telah menewaskan banyak teroris, tetapi tidak ideologinya. Paham salafi dan salafi-jihadi masih punya banyak pengikut dan juru bicara. Dalam sistem demokrasi, mereka bebas dan dijamin undang-undang untuk berkumpul dan menyatakan pendapat, termasuk mengadakan kajian. Secara garis besar, dua kelompok salafi bersaing di panggung dakwah Indonesia, Salafi-Hijazi dan Salafi-Ikhwani.

Salafi-Hijazi

Salafi-Hijazi menginduk kepada doktrin Wahhabi dan pendapat duo ulama pro Kerajaan Arab Saudi yaitu Bin Baz dan Nashirudin al-Albani. Kajian mereka seputar pemurnian tauhid dan ibadah, membahas ‘syirik kubur’ dan anti-bid’ah. Mereka apolitis, tidak menyentuh wilayah ‘syirik undang-undang’ atau demokrasi. Ini bisa dimengerti karena kiblat mereka adalah Arab Saudi yang berbentuk kerajaan. Sistem monarki, dalam perspektif salafi-jihadi, bermasalah dan bahkan disebut sebagai representasi dâr al- kufr.

Salafi-Ikhwani

Salafi-Ikhwani menginduk kepada al-Ikhwân al-Muslimûn (IM) Mesir yang didirikan Hasan al-Banna. Dari rahim IM inilah lahir paham salafi-jihadi. Fokus gerakannya bukan hanya anti-bid’ah dan ‘syirik kubur,’ tetapi ‘syirik demokrasi dan undang-undang.’ Mereka menyerang demokrasi dan memurtadkan pemimpin muslim yang berhenti memperjuangkan syariat Islam. Jihad bagi mereka bukan hanya melawan agresor asing (kâfir harbî), tetapi juga terhadap penguasa setempat (kâfir mahallî) yang murtad karena enggan menegakkan hukum Islam. Seluruh doktrin salafi-jihadi —dalam semua variannya— bisa dilacak bersumber dari IM Mesir yang kemudian pecah menjadi banyak faksi.

Di dalam kelompok salafi dan salafi-jihadi banyak turunan dan pecahan, masing-masing bahkan saling mengkafirkan. Kelompok salafi, misalnya, menyebut salafi-jihadi sebagai reinkarnasi Khawarij. Namun, baik salafi maupun salafi jihadi, sama-sama bernaung di bawah fatwa-fatwa Ibn Taimiyah. Ibn Taimiyah adalah mentor intelektual dari seluruh aliran salafi. Paham salafi dan salafi-jihadi punya panggung untuk mentransfer paham dan keyakinannya melalui pengajian tertutup dan terbuka, bahkan diunggah ke media sosial untuk diikuti siapa saja. Terkadang mereka bukan hanya menyerang ormas lain seperti NU yang jelas berbeda, tetapi juga saling men-tahdzir di antara penganut salafi sendiri. Pendekatan hukum mutlak tetapi tidak cukup. Memburu dan menghukum pelaku teror wajib. Namun, sejarah mencatat, teroris bisa dihukum mati tetapi tidak ajarannya.

Belajar dari kasus IM di Mesir, paham radikalisme justru menjamur di sel-sel penjara. Bahkan Ba’asyir dan Aman Abdurrahman bisa me-remote control aksi amaliah dari bilik jeruji. Pendekatan sosial-budaya berbasis masyarakat sipil harus bergandeng dengan pendekatan hukum-represif oleh negara. Dialog tetap penting untuk mengembangkan toleransi, mengakui fakta kemajemukan tafsir atas Islam, dan menghargai perbedaan pendapat. Institusi pendidikan juga berperan penting mencegah penyebaran radikalisme. Caranya, antara lain, memasukkan wawasan kebangsaan dalam kurikulum pendidikan agama Islam. Materi ini penting untuk meletakkan dasar pemahaman bahwa umat Islam bukan hanya wajib menjadi muslim yang saleh, tetapi juga warga negara yang baik, yang tulus mengakui kebhinekaan dan menghargai perbedaan. NKRI berdasarkan Pancasila adalah common platform agar setiap orang bisa menjadi warga negara yang baik sekaligus penganut agama yang taat.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abou El Fadl, Khaled (2007), The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists. New York: HarperCollins.

Algar, Hamid (2002), Wahhabism: A Critical Essay. Oneonta, NY.: Islamic Publications International.

Al-Maqdisi, Abu Muhammad Ashim (2000), Al-Kawasyif al-Jaliyah fi Kufri al-Dawlah al-Sa’udiyah. Ttp: Minbar al-Tauhîd wa al-Jihâd.

Al-Rasheed, Madawi (2007), Contesting the Saudi State: Islamic Voices from a New Generation. Cambridge: Cambridge University Press.

As-Siba’i, Hani (2002), Qisshat Jamâ’ah al-Jihâd. London: Markaz al-Maqrîzî li-d-Dirâsat at-Târikhiyat.

Azzam, Abdullah (1994), Fî Dzilâli Sûrat al-Tawbah. Peshawar: Markaz as-Syahîd Azzâm al-I’lâmi.

Barber, Benjamin (1995), Jihad Vs. Mc World. New York and Canada: Times Books & Random House.

Bonney, Richard (2004), Jihad: From Qur’an to Bin Laden. New York: Palgrave Mc Millan.

Dijk, Cornelis van (1981), Rebellion under the Banner of Islam: the Darul Islam in Indonesia. The Hague: M. Nijhoff.

Dreyfuss, Robert (2007), Devil’s Game Orchestra Iblis: 60 Tahun Perselingkuhan Amerika-Religious Extremist. Yogyakarta: SR-Ins Publishing.

Hanafi, Hassan (1989), Al-Dîn Wa Al-Tsaurah fi Misr 1952-1981; al-Juz’ al-Sâdis, Al-Ushûliyyah al-Islâmiyyah. Cairo: Maktabah Madbûli.

Ibn Katsir, Al-Hafidz (1988), Al-Bidâyah wa al-Nihâyah. Vol. XIV. Beirut: Maktabah al-Ma’ârif.

Parlindungan, Mangaradja Onggang (2007), Tuanku Rao. Yogyakarta: LKiS.

Solahudin (2011), NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia. Depok: Komunitas Bambu.

Syaifullah (1997), Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Tibi, Bassam (1998), The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Barkeley, Los Angeles & London: University of California Press.

Trofimov, Yaroslav (2007), The Siege of Mecca: The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and the Birth of Al Qaeda. New York: Doubleday.

 

M. KHOLID SYEIRAZI

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (Sekjen PP ISNU)

RELATED ARTICLES

Most Popular