Friday, March 29, 2024
HomeGagasanAktivis Mahasiswa 90an Dalam Pusaran Pemilu 2019

Aktivis Mahasiswa 90an Dalam Pusaran Pemilu 2019

 

Tahun 1990an adalah asal mula dari kesadaran tentang milenium ketiga di kampus-kampus. Pilihan slogan “tinggal landas” atau “tinggal di landasan” diperkenalkan secara masif sejak di bangku sekolah menengah atas. Era globalisasi dengan ciri Triple T-nya, yakni technology, telecomunication dan transportation, juga dibicarakan dalam banyak seminar. Triple T itu diikuti oleh tourism sebagai bentuk aktivitas manusia yang tak lagi mengenal batas-batas ideologi, agama, teritorial, pekerjaan dan lain-lain. Di luar BJ Habibie, sosok-sosok seperti Emil Salim, Dorodjatun Kuntjorojakti, Juwono Sudarsono atau bahkan para Widya Iswara di Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP 7) Pusat juga sering menyampaikan.

Tak ada sama sekali gambaran betapa Indonesia bakal menghadapi patahan sejarah tentang perubahan kepemimpinan nasional. Sejumlah buku futurolog memasuki ruang-ruang diskusi, sekalipun buku-buku itu dianggap bukan buku ilmiah. Alvin Toffler, John Naisbitt, Patricia Aburdene, Ziauddin Sardar dan sebagainya menjadi bahan perbincangan, termasuk analisis Samuel P Huntington tentang “benturan peradaban”. Buku-buku sejenis ditulis oleh para ilmuwan ataupun praktisi lokal. Kampus berlomba-lomba mengadakan seminar dengan mendatangkan para ilmuwan atau penulis terkenal tersebut.

Senat Mahasiswa Universitas Indonesia (SMUI), misalnya, selama dua tahun berturut-turut mengadakan kegiatan nasional.

Pertama, Diskusi Mahasiswa tentang Tinggal Landas (DMTL) dalam era Ketua Harian SMUI Chandra M Hamzah (1993/1994). DMTL adalah forum yang pertamakali mengundang sejumlah utusan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT) se-Indonesia. Rata-rata yang hadir adalah ketua atau sekretaris umum dari SMPT yang bersangkutan. Seluruh delegasi DMTL diundang oleh Prof Dr BJ Habibie ke Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) Bandung yang kini bernama PT Dirgantara Indonesia.

Kedua, Simposium Nasional Angkatan Muda (SNAM) 1990an: Menjawab Tantangan Abad 21 dalam era Ketua Harian SMUI Bagus Hendraning (1993/1994). Jika dalam acara DMTL yang menonjol adalah Prof Dr BJ Habibie, maka dalam SNAM justru nama Panglima Kodam V Jaya Hendro Priyono dengan Kepala Staf Kodam V Jaya Wiranto. Tanpa pengetahuan Ketua Organizing Committee (OC) saya jabat, peserta SNAM bertandang ke Makodam V Jaya di dekat kampus Universitas Kristen Indonesia, Cililitan. Mas Eep Saefullah Fatah sebagai Ketua Steering Committee (SC), sampai “mengadili” saya.

Terlepas dari tarik-menarik kepentingan dalam kepanitiaan, kedua kegiatan nasional itu berhasil mendatangkan para aktivis mahasiswa intra dan ekstra kampus dari pelbagai daerah dan organisasi. Diskusi-diskusi seperti itu menghasilkan sejumlah makalah yang diperbincangkan secara baik. Bahkan, Forum Komunikasi SMPT se-Indonesia dan wilayah dibentuk setelah itu, antara lain dengan lahirnya Forum Komunikasi SMPT Jakarta (FKSMJ). FKSMJ lahir sebagai wadah penyatuan ide dan gagasan dari aktivis mahasiswa intra kampus di Jakarta guna dibawa dalam Pertemuan SMPT se-Indonesia yang diagendakan di Universitas Gajah Mada (UGM). Sayangnya, dalam Pertemuan SMPT se-Indonesia di Kaliurang, UGM, Yogyakarta itu, delegasi dari SMUI melancarkan aksi walk out. Lagi-lagi alasannya adalah keterlibatan pihak lain di luar mahasiswa dalam kegiatan kemahasiswaan itu.

Para pembicara dalam pertemuan aktivis SMT itu bukan saja dari kalangan menteri, tetapi juga dari kalangan intelektual dan mahasiswa sendiri. Tentu, diluar kegiatan “semi ilmiah” itu, terjadi rapat-rapat di luar jadwal yang membicarakan tentang nasib gerakan mahasiswa sendiri. “Rapat-rapat gelap” itulah yang kemudian menggeliatkan sejumlah agenda aksi gerakan mahasiswa. Yang paling bisa disatukan adalah agenda pendidikan nasional dengan mendorong anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 25 persen, sebagaimana juga pernah disepakati oleh aktivis mahasiswa 1970-an dan sudah diperjuangkan sejak tahun 1955 oleh mahasiswa asal Indonesia yang berada di Eropa.

Demokrasi Politik sebagai Hambatan?

Tentu, bukan hanya UI yang mengadakan kegiatan dimaksud. Banyak lembaga dan organisasi juga mengadakan kegiatan serupa. Pakar-pakar luar negeri didatangkan. Ada optimisme betapa Indonesia tak bakal lagi dianggap sebagai bangsa kelas dua atau kelas tiga, melainkan bakal menjadi bagian dari bangsa yang sejajar dengan negara-negara maju lainnya, terutama bangsa-bangsa di Asia Timur. Dengan “teori” bebek terbangnya, Indonesia bakal masuk ke dalam jajaran negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.

Indonesia ternyata masih tertatih dalam berdemokrasi, tatkala sedang bersiap lepas landas dalam arus global itu. Sumberdaya manusia yang sudah disusun rapi guna bersaing di ranah ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata berhadapan dengan tikar buruk dalam altar politik. Era depolitisasi dan deparpolisasi yang terjadi pada tahun 1980an dengan Normalisasi Kehidupan Kampus atau Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) menemui makamnya. Elite bangsa justru tak pandai lagi dalam mengelola dan menata konflik di zaman moderen. Bau busuk dekandensi politik mencuat menjelang pemilu 1997. Terjadi perubahan-perubahan arah dalam tubuh organisasi peserta pemilu, terutama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Golkar untuk pertamakalinya dipimpin oleh kalangan sipil, yakni Harmoko.

Dalam alur perubahan skala besar itu, gerakan mahasiswa ikut terwarnai. Sejumlah aktivis mahasiswa muncul ke permukaan dalam perannya masing-masing. Mereka terlibat dalam arus anti-dekadensi politik itu, lewat gelombang aksi gerakan mahasiswa yang dilakukan secara merayap. Semula, kelompok-kelompok studi menjadi tempat persemayaman pemikiran-pemikiran apapun, termasuk filsafat dan mistisisme. Lambat laun, kelompok-kelompok studi kembali mencair menjadi aksi-aksi jalanan yang terbatas.

Puncaknya adalah gerakan mahasiswa 1998. Tiba-tiba saja, calon-calon sarjana itu mengambil michrophone, lalu tampil di area-area demonstrasi. Orasi-orasi disampaikan, berdasarkan bacaan masing-masing atas keadaan. Ada situasi ketidak-relaan, betapa masa depan yang “tinggal landas” dan “millenium ketiga” itu dibajak oleh segelintir elite politik yang tak ingin berdiri dari kursi kekuasaannya. Serentak, para mahasiswa bergandengan tangan, berteriak lantang tentang reformasi.

Dimana Lapisan Besar Aktivis Mahasiswa 1990an?

Kini, setelah 20 tahun berhentinya Presiden Soeharto, kemana para aktivis mahasiswa era 1990an itu?

Rata-rata ternyata menjadi kaum profesional murni, termasuk menjadi tenaga pengajar di kampus-kampus. Jabatan-jabatan tertinggi di kampus-pun sudah diraih, misalnya Arif Satria, Ketua Senat Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) 1992/1993 yang kini menjadi Rektor IPB. Mereka berkiprah menjadi diplomat, seperti Bagus Hendraning (Ketua Harian Senat Mahasiswa UI 1993/1994) dan Vitto Tahar (aktivis Senat Mahasiswa UI). Sebagian yang lain muncul di area perbankan, badan usaha milik negara, ataupun swasta. Mereka terus mengejar adagium “tinggal landas”, “millenium ketiga” dan “globalisasi” itu dengan cara masing-masing. Bertarung di fora internasional tentu juga bagian dari kiprah hari ini.

Masalahnya, apakah pikiran-pikiran dari kalangan profesional itu sudah benar-benar bisa diterapkan di lapangan politik praktis, juga pemerintahan? Demokrasi liberal yang diterapkan di Indonesia ternyata memicu sikap pesimisme dan negativisme yang akut. Kalangan politisi dianggap sebagai benalu bagi kemajuan, kesejahteraan dan keadilan yang dicita-citakan mayoritas mahasiswa era 1990-an. Para politikus dianggap sebagai para pembajak dari perjalanan arah reformasi.

Apakah Benar Demikian?

Guna menapak lagi jejak-jejak perjalanan visi dan misi Indonesia moderen yang pernah didiskusikan oleh aktivis mahasiswa era 1990an itu, dirasa perlu untuk mempertemukan lagi para aktivisnya dalam sebuah forum. Setidaknya, forum itu digunakan untuk mengingat kembali apa yang pernah dikerjakan. Sudah cukup selama lebih dari dua dasawarsa ini kalangan aktivis mahasiswa era 1990an ini bekerja sendiri-sendiri atau dalam wadah yang terbatas, guna memperjuangkan idealisme masing-masing. Justru sekaranglah saatnya untuk membangun doliditas angkatan di kalangan generasi aktivis mahasiswa 1990an. Apalagi, fakta menunjukkan bahwa generasi mahasiswa angkatan 1966-pun masih aktif dalam pucuk-pucuk kekuasaan politik.

Kerjasama aktivis mahasiswa era 1990an perlu dibangun, bukan hanya di kalangan mereka yang menerjunkan diri ke dalam kancah politik dengan menjadi aktivis partai-partai politik, melaikan juga mereka yang menempuh dunia profesional. Kolaborasi antara aktivis mahasiswa era 1990an, baik yang berada diluar ataupun di dalam partai politik inilah yang mudah-mudahan menjadi energi baru bagi perubahan regenerasi kepemimpinan politik ke depan. Dengan kolaborasi ini, bakal didapatkan sumberdaya manusia politik yang benar-benar menggerakkan ide-ide generasinya yang sudah dibangun lebih dari dua dasawarsa.

 

INDRA J PILIANG

– Ketua Dewan Pendiri Sang Gerilya Institute
– Anggota Dewan Pakar Partai Golkar
– Anggota Tim Quality Assurance Reformasi Birokrasi Republik Indonesia

RELATED ARTICLES

Most Popular