Thursday, April 25, 2024
HomeGagasanAirlangga Hartarto Soekardi dan Golkar Masa Depan

Airlangga Hartarto Soekardi dan Golkar Masa Depan

(foto: nusabali.com)
(foto: nusabali.com)

Dalam visi yang disebut Ir. Airlangga Hartarto sebagai Eka Sapta, terdapat visi pertama, yakni kaderisasi kepartaian yang berbasis riset, ilmu pengetahuan dan data primer. Terdapat sejumlah kata kunci dalam Eka Sapta itu, yakni kaderisasi, riset, ilmu pengetahuan dan data primer. Secara diam-diam, saya merekam uraian Airlangga dalam sejumlah sosialisasi yang dilakukan. Saya sudah mendampingi Airlangga di Padang (Sumbar), Pekanbaru (Riau), Sanur (Bali), Kupang (Nusa Tenggara Timur), Mataram (Nusa Tengga Barat) dan Kemang (Jakarta).

Dialog yang dilakukan Airlangga berlangsung hangat. Ia memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berbicara. Rata-rata, kegalauan pengurus Partai Golkar di daerah adalah kekalahan demi kekalahan yang dialami Partai Golkar, baik dalam pemilu legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah. Belum lagi faksionalisasi yang terjadi dalam tubuh Partai Golkar yang dalam satu tahun terakhir berubah menjadi dualisme kepengurusan (Bali dan Jakarta). Persoalan lain adalah cara Partai Golkar menampung kalangan purnawirawan TNI.

Masalah lain, tentu klasik, yakni logistik Partai Golkar yang kurang. Kontribusi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar sama sekali sedikit, kalau bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Padahal, setiap kali menghadapi pemilu, pilpres atau pilkada, kader-kader Partai Golkar di daerah juga ikut memberikan sumbangan kepada kas partai. Di luar itu, dari sisi persepsi, Airlangga dianggap masih mentah atau muda, dibandingkan dengan generasi yang ingin ia gantikan. Pengalaman politik Airlangga dianggap belum cukup. Apalagi Airlangga bukanlah sosok yang sering muncul dalam pemberitaan media massa.

Dibandingkan Airlangga, tentu saya lebih banyak muncul dalam mewakili Partai Golkar. Saya langsung menjadi Juru Bicara Calon Presiden H.M. Jusuf Kalla pada tahun 2009. Pun setelah itu, saya beberapa kali mewakili pandangan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie atas masalah-masalah yang terjadi di publik. Dalam setiap kesempatan itu, mulut saya tentunya tidak sepenuhnya mewakili hati dan pikiran saya, melainkan pandangan yang saya ramu dari tugas-tugas yang diberikan kepada saya oleh pimpinan Partai Golkar. Beberapa kali saya sempat berseberangan dengan pimpinan Partai Golkar, akibat berbicara duluan. Dari berbagai telepon atau teguran yang diberikan kepada saya itulah, saya menemukan ritme tersendiri dalam mengelola arus pendapat dalam tubuh Partai Golkar.

Partai Panca Bakti

Dalam kesempatan kunjungan ke daerah-daerah itulah saya mendengarkan langsung uraian Airlangga. Jawaban-jawaban yang diberikan sangat akurat, sekalipun disampaikan dalam nada yang dingin. Selama ini, Sumber Daya Manusia (SDM) Partai Golkar lebih banyak berasal dari kelompok oligarki, feodal dan monarki di daerah-daerah. Airlangga sampai memberikan data tentang berapa orang anggota DPR RI yang benar-benar murni lahir dari pertarungan. Sebagian malah tak dikenal sebelumnya oleh publik.

“Rata-rata mereka adalah anak bupati, anak walikota atau anak gubernur. Atau mantan bupati, mantan walikota atau mantan gubernur. Semangat kepartaian sama sekali belum ada dalam diri mereka. Mereka kebetulan saja mengenakan baju Partai Golkar, tetapi sama sekali tak memahami korsa karya dan kekaryaan yang ada di dalamnya,” papar Airlangga, lugas.

Paparan Airlangga itu bagi sebagian orang tentunya mengkritisi Partai Golkar sendiri. Atau bahkan potensi suara yang mau diraihnya. Bagaimana Airlangga mengabaikan sama sekali fakta yang sudah diketahui oleh internal Partai Golkar itu? Kader yang berkualitas, namun bukan anak siapa-siapa, dan tak memiliki kemampuan keuangan yang cukup, belum tentu memiliki “harga” yang pas dalam tubuh Partai Golkar. Kader-kader itu sama sekali tidak mendapatkan nomor urut dalam pencalonan, baik sebagai anggota parlemen pusat dan daerah, maupun dalam pilkada. Kalaupun dapat mencalonkan diri, ditempatkan dalam urutan yang tidak pas, alias nomor sepatu.

Akibatnya, migrasi kader terjadi. Bukan saja sosok semacam Basuki Tjahaja Purnama (A Hok) yang memutuskan pindah dari Partai Golkar ke Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) –walau keluar lagi–, melainkan juga pendiri Partai Gerindra sendiri, yakni Prabowo Subianto. Lawan tanding Partai Golkar justru adalah kader-kader yang tersingkir dalam persaingan elite. Diluar nama Prabowo, terdapat Wiranto yang mendirikan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Surya Paloh yang mendirikan Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Migrasi itu tidak hanya melibatkan elite Partai Golkar di tingkat Pusat, melainkan rontoh hingga ke tingkat provinsi, kabupaten, kota, sampai kecamatan dan desa.

Hasil pemilu legislatif 2014 sudah bisa dijadikan renungan. Partai Nasdem 8.402.812 (6,72%), Partai Gerindra 14.760.371 (11,81%), Partai Hanura 6.579.498 (5,26%), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia yang dipimpin Letjen TNI (Purn) Sutiyoso mendapat 1.143.094 (0,91%). Gabungan empat partai politik yang menjadi lawan Partai Golkar itu sebesar 30.885.775 (24,73%). Ditambah dengan perolehan Partai Golkar 18.432.312 (14,75%), maka total perolehan suara yang diraih Partai Panca Bakti itu adalah 49.318.087 (39,48%). Walau Partai Golkar memimpin, jelas sudah suaranya kian rontok dibandingkan hasil pemilu legislatif 2009 dengan perolehan 15.037.757 (14,45%). Sedikitnya jumlah peserta pemilu 2014, lumayan membantu bagi jebolnya bendungan suara Partai Golkar.

Bank Kader, Lembaga Saksi dan Kuningisasi

Airlangga dengan terus terang menyebut sejumlah nama yang sangat dekat dengan saya, yakni Ferry Mursidan Baldan dan Yuddy Chrisnandi, dalam posisi sebagai menteri. Di tingkat paling atas, terdapat nama H.M Jusuf Kalla yang menjadi Wakil Presiden RI. Andai mereka masih mengandalkan Partai Golkar, belum tentu ketiganya meraih posisi politik yang dituju oleh politisi manapun. Menyebut nasib baik adalah pantangan bagi politisi.

Satu adagium lama terbayang di benak saya, “Lebih baik menjadi kepala seekor ular, daripada menjadi ekor seekor naga.”

Airlangga tentu tak hanya mengurai persoalan menjadi kian jelas, melainkan langsung menyebut sejumlah terapi yang bersifat matematik dan ekonomi. Keahliannya di bidang ekonomi, ketangguhan sebagai seorang insinyur, serta pengalaman sebagai kader yang merintis dari bawah, membuat Airlangga bisa memberikan jawaban yang tuntas dan memuaskan.

Apa jawaban dari persoalan-persoalan ini? Pertama, Partai Golkar perlu membentuk semacam Bank Kader. Bank Kader bukan hanya sekadar kartu-kartu anggota yang dilabeli asuransi jiwa dan cacat, melainkan lewat proses pengkaderan yang berjenjang. Sasaran-sasaran baru layak direbut, dipertahankan dan didoktrinasi. Tanpa proses yang terencana, sistematis dan terukur, sulit berharap Partai Golkar mampu mempertahankan jumlah pemilih yang sudah ada, apalagi menambah daftar pemilih baru.

Bank Kader adalah formula yang tepat guna memberikan jawaban atas persoalan suara Partai Golkar. Idealnya, Partai Golkar sanggup mempertahankan jumlah pemilih pada tahun 2009, yakni sebanyak 15 Juta orang. Atau, bahkan berani mempertahankan hasil pemilu 2004, yakni sebesar 24.480.757 (21,58%). Logikanya sederhana, yakni terkait jumlah pengurus Partai Golkar di semua tingkatan, belum lagi Organisasi Pendiri dan Organisasi Yang Didirikan (Hasta Karya), yakni 1,5 Juta orang. Artinya, satu kader hanya dikenakan “kewajiban” untuk menjamin masuknya 3 sampai 5 suara bagi Partai Golkar! Tabulisasi data seluruh pengurus Partai Golkar menjadi penting.

Kedua, pembentukan lembaga saksi permanen dalam tubuh Partai Golkar. Pemikiran ini terbaca sederhana, namun memiliki daya jangkau yang jauh. Apalagi, agenda pemilu dan pilpres serentak sudah menunggu pelaksanaan pada tahun 2019 kelak. Belum lagi dua agenda pergumulan politik lagi jelang itu, yakni pilkada serentak 2017 dan pilkada serentak 2018. Airlangga menghitung, jauh lebih banyak calon-calon legislatif mengeluarkan anggaran pribadinya guna membentuk saksi sendiri, daripada bergotong-royong melatih, mendidik dan membiayai saksi-saksi.

Dari sisi manajemen, memang saksi adalah organisasi yang besar, yakni sekitar 500.000 orang untuk tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tetapi, apabila data itu dikonversi dalam jumlah pengurus Partai Golkar yang pernah dilaporkan, yakni sebanyak 1,5 Juta orang, maka saksi hanya sepertiganya. Artinya? Satu di antara pengurus Partai Golkar di semua tingkatan wajib diisi oleh orang yang bersedia menjadi saksi dalam setiap peristiwa pemilu, pilpres dan pilkada. Status sebagai SAKSI SEJATI itu diberikan dalam bentuk sertifikat sebagai saksi ataupun bentuk-bentuk lainnya.

Ketiga, kuningisasi secara terencana, ilmiah dan alamiah. Apabila kita menatap ke bawah pohon beringin besar, akan terlihat daun-daun warna kuning tergeletak di atas tanah, diterbangkan angin. Yang kokoh menempel adalah daun-daun berwarna hijau atau hijau muda. Daun-daun yang berwarna kuning itu ada yang masih sehat, ada juga yang sudah sakit-sakitan digigiti ulat. Artinya, Partai Golkar wajib memiliki keberanian guna memotong minimal satu generasi politik yang sudah seringkali menjadi pejabat publik atau dicalonkan untuk itu.

Airlangga tidak terlalu spesifik menjelaskan soal “kuningisasi” ini. Saya hanya menangkapnya sayup-sayup dalam sejumlah kesempatan. Apabila Airlangga tidak memiliki beban dan hutang politik, tentulah ia memiliki keberanian guna mewujudkan kuningisasi itu. Airlangga tetaplah seorang pribadi yang santun dan memiliki hubungan perkawanan yang baik dengan banyak pihak.  Akan tetapi, apabila saya sangguh membedah isi kepalanya, saya meyakini adanya sel-sel yang menyimpan pemikiran itu secara alamiah dan ilmiah. Seorang insinyur, apalagi insinyur yang memiliki reputasi istimewa seperti Airlangga, tentulah terbiasa menggunakan segala macam bahan guna menyelesaikan pekerjaan. Bukankah semua kapal kayu terbuat dari kayu, termasuk paku kayu, baut kayu, layar kayu, hingga kemudi kayu? Begitulah.

Kader Berbahu Besar

Kesempatan berada di depan, berhadapan dengan peserta dialog di daerah-daerah, saya manfaatkan untuk potret diri dan suasana acara. Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, saya memotret dari arah punggung Airlangga. Dan saya temukan tubuh yang berbahu besar dan kuat, terlihat mampu menopang beban berat Partai Golkar dari sudut sejarah, masa kini dan masa depan. Segera saya kirimkan foto itu ke akun twitter saya@IndraJPiliang. Saya makin tahu cara fotografer atau kamerawan memperlihatkan sisi-sisi positif dan negatif seseorang. Bagi saya, foto itu menunjukkan keperkasaan seorang Airlangga.

Dari para senior dan kawan sejawat, saya juga tahu Airlangga tidak pernah terdengar memanfaatkan nama besar ayahnya, Ir. Hartarto Sastrosoenarto. Hartarto adalah seorang menteri muda hingga senior pada masa Presiden Soeharto. Ia disumpah empat periode untuk menjadi menteri, setara dengan fase sekolah yang sudah saya tempuh sejak zaman Taman Kanak-Kanak hingga Magister Ilmu Komunikasi FISIP UI, yakni 20 tahun. Airlangga tentu bangga dengan ayahnya, tetapi itu bukan berarti ia berada dalam bayang-bayang sosok yang dikagumi teknokrat dan teknolog era Orde Baru.

Yang saya juga kaget, bahkan tersentak, adalah ketika menemukan koran Oetoesan Indonesia yang terbit pada tahun 1932 di ruang tamu kantor Airlangga di Jalan Taman Kemang, Jakarta Selatan. Pada bagian kanan dari sisi pembaca, terdapat nama seseorang, yakni D. Soekardi sebagai Directour Oetoesan Indonesia. Di halaman kiri, terdapat dua nama Hoofdredactie, yakni Moh. Hatta (Politieke Hoofdredacteur di Djakarta) dan Dr. Soekiman. Dan, terdapat enam nama sebagai Pembantoe Tetap, yakni HOS Tjokroaminoto, St Sjahrir, RP Soetomo, AB Tjokrosoejoso, RM Soerjopranoto dan Soeroedjono.

Apa kaitan Oetoesan Indonesia dan nama-nama itu dengan Airlangga Hartarto? D. Soekardi yang menjadi Directour Oetoesan Indonesia ternyata kakek kandung Airlangga dari pihak ayah, Hartarto Sastrosoenarto. Seorang direktur sebuah penerbitan yang diisi kaum pergerakan nasional, baik dari sayap Islam, nasionalis, hingga sosialis, tentulah dirigen dalam pertunjukkan orkestra klasik. Taruhlah, jabatan Directour lebih rendah dari Hoofdredactie dan bahkan dari Pembantoe Tetap, tetap saja pekerjaan teknis peliputan, penyuntingan, penerbitan hingga distribusi Oetoesan Indonesia dilakukan oleh D. Soekardi.

Semakin saya mendalami silsilah beringin Airlangga, baik akar, batang, dahan, ranting, tangkai, buah hingga daunnya, semakin saya dibawa kepada pribadi yang lebih banyak isinya, daripada kosongnya. Airlangga adalah Utusan Indonesia dari Partai Golkar yang mewarisi tradisi keluarga yang intelegensia. Atau, bisa jadi begini: Airlangga adalah utusan Partai Golkar, Hartarto adalah utusan Orde Baru, sementara Soekardi adalah utusan Indonesia. Titik epistemologis kehadiran Partai Golkar kian jelas, di tengah kian terpecah-pecahnya identitas dan kaderisasi kepartaian di Indonesia. Airlangga Hartarto Soekardi adalah mata rantai pengikat tradisi kepartaian dan ke-Indonesia-an yang spartan.

INDRA J. PILIANG
Direktur Kampanye Ekspedisi Kahuripan

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular