Friday, March 29, 2024
HomeGagasanA Post-Democracy World

A Post-Democracy World

 

Sebagai konsep, demokrasi semakin terbukti kadaluwarsa. Model demokrasi terbaik, yaitu demokrasi Amerika Serikat (AS), sudah sekarat beberapa tahun terakhir dan kematiannya diresmikan kemarin, hari Rabu (6/1/2021) saat pendukung Presiden AS Donald Trump menyerbu Gedung Parlemen AS saat anggota Kongres dalam proses mensertifikasi kemenangan pasangan Joe Biden-Kemala Harris sebagai president and vice president elect. Penyerbuan itu sebagian besar dipicu oleh pidato Presiden Donald Trump yang tetap saja tidak mengakui kemenangan Joe Biden. Kini sebagian anggota Kongres sedang mempertimbangkan proses pemecatan Trump sebagai Presiden tanpa menunggu saat pergantian kekuasaan pada 20/1/2021.

Sungguh mengherankan jika banyak negara, termasuk Republik Indonesia (RI), masih percaya dengan demokrasi yang oleh beberapa tokoh dikatakan sudah menjadi kesepakatan nasional. Ini dipastikan melalui serangkaian amandemen atas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 menjadi UUD 2002. Klaim kesepakatan sepihak karena hanya kesepakatan para elite partai-partai politik belaka. Jika Dr. Zulkifli Ekomei menyebut UUD 2002 ini sebagai UUD palsu, maka amandemen ini sesungguhnya adalah sebuah kudeta konstitusional.

Kebusukan demokrasi -oleh William Bloom disebut sebagai ekspor AS yang paling mematikan (2013)- semakin menebar bau ke semua penjuru. Dalam praktek, bahkan di AS sekalipun, demokrasi adalah sebuah proses monopolisasi pasar politik oleh partai politik (parpol). Selain parpol, warga negara tidak boleh berpolitik. Tugasnya selesai di bilik suara. Akhirnya terbentuklah sebuah kartel politik yang dikuasai oleh elite partai politik. Fungsi-fungsi pengawasan agar terjadi check and balances lumpuh, bahkan media pun dikuasai oleh elite partai politik. Siapapun yang berbeda pendapat dengan penguasa dengan mudah disebut tukang bikin gaduh, radikal, bahkan ekstrimis yang bisa ditangkap kapan saja dan dieliminasi kapan saja. Itulah yang sedang terjadi di Republik ini.

Para pendiri Republik melalui UUD 1945 sudah membayangkan mengelola Negara RI tanpa partai politik, tanpa pemilihan umum (Pemilu). Ide pengolaan negara melalui parpol muncul melalui pemikiran Bung Hatta melalui Maklumat Wakil Presiden Nomor X/1945. UUD 1945 menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat dan dijalankan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Utusan Golongan dan Utusan Daerah. Presiden dipilih oleh MPR sebagai mandataris MPR dan mempertanggungjawabkan mandatnya pada MPR.

Setelah amandemen, kini tidak ada lagi lembaga tertinggi negara yang menjalankan fungsi awal MPR. Presiden tidak lagi mandataris MPR, tapi hanya petugas partai.

Noam Chomsky mengatakan bahwa organisasi yang paling berbahaya di planet ini bukan Al-Qaedah atau ISIS, tapi Partai Republik AS. Dibawah kepresidenan Donald Trump, Partai Republik mendorong AS untuk keluar dari kesepakatan Perubahan Iklim dan Pembatasan Senjata Nuklir. Pandemi Covid-19 ini sudah cukup mengancam umat manusia. Kini seluruh umat manusia sebagai spesies paling terorganisir terancam kepunahan akibat perubahan iklim dan perang nuklir.

Di Indonesia, oligarki parpol yang menguasai seluruh lini pemerintahan kini sedang membangun narasi bahwa organisasi yang mengancam Pancasila dan NKRI adalah organisasi massa semacam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Wacana ini tidak saja ilusif, tapi sekaligus menyesatkan. Pancasila sudah tidak dipraktekkan lagi sejak reformasi, dilumpuhkan oleh paham sekulerisme radikal, menjadikan Pancasila sebagai musuh agama. Bahkan ada Parpol yang mencoba mengganti Pancasila dengan Trisila dan Ekasila tapi dibiarkan saja oleh aparat.

Satu-satunya cara untuk menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini adalah kembali ke UUD 1945 sesuai dekrit Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959. Kekuasaan politik tidak boleh lagi dimonopoli oleh partai politik. Setiap warga negara dewasa berhak berpolitik (melalui kebebasan menyatakan pendapat dan berserikat), baik melalui parpol maupun bukan. Tugas politik warga tidak boleh berakhir di bilik suara. Keistimewaan Parpol harus segera diakhiri. Kekuasan harus dilihat sebagai amanah, bukan ditransaksikan dalam Pemilu melalui parpol. Era demokrasi berbasis parpol perlu segera diakhiri.

 

DANIEL MOHAMMAD ROSYID

Guru Besar dan Direktur Eksekutif Rosyid College of Arts Surabaya

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Most Popular