Friday, March 29, 2024
HomeGagasan20 Tahun Reformasi: Mengambil Pelajaran Dari Malaysia

20 Tahun Reformasi: Mengambil Pelajaran Dari Malaysia

 

Tepat 20 tahun yang lalu, Soeharto memutuskan berhenti dari jabatan Presiden. Keputusan Soeharto diambil setelah di seluruh tanah air dilanda demonstrasi besar-besaran menuntut pengunduran dirinya.

Awalnya, Soeharto bersikukuh tidak ingin mundur, namun gelombang demonstrasi kian hari makin membesar. Di sisi lain, rakyat dan mahasiswa sudah kehilangan rasa takutnya. Bahkan adanya korban yang mulai berjatuhan semakin menyulut semangat untuk segera menjatuhkan Soeharto.

Saat itu rakyat sudah tidak percaya dengan Soeharto. Rakyat sudah tidak peduli lagi dengan jasa-jasa Soeharto yang sudah melakukan seabrek pembangunan infrastruktur. Rakyat mulai sadar bahwa pembangunan yang digerakkan oleh Soeharto dianggap hanya menguntungkan para konglomerat.

Nyatanya, rakyat kecil hanya mendapatkan porsi terkecil dari kue pembangunan tersebut. Sementara para konglomerat terus menumpuk kekayaan berlipat-lipat dengan modus kongkalikong dengan para pejabat.

Maka tatkala krisis ekonomi menerpa Indonesia, ekonomi Indonesia langsung ambruk. Ekonomi yang ditopang oleh korporasi raksasa milik konglomerat nyatanya sangat rapuh menghadapi kibasan krisis. Rupiah makin melemah hingga terjerembab di level Rp. 16.000 per dolar AS.

Kemarahan rakyat sudah tidak terbendung lagi dan aksi demonstrasi para mahasiswa juga makin membanjiri kota-kota besar di seluruh Indonesia. Maka tepat pada 21 Mei 1998, akhirnya Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan Presiden. Gerakan reformasi telah berhasil menumbangkan Soeharto setelah 32 tahun berkuasa.

20 tahun kemudian gerakan perubahan juga menerpa Malaysia. Koalisi parpol penguasa yang tergabung dalam “Barisan Nasional” juga tumbang oleh koalisi parpol oposisi yang tergabung dalam “Pakatan Harapan”. Pemilu yang digelar pada 10 Mei 2018 telah menumbangkan Koalisi Barisan Nasional (BN) setelah 60 tahun berkuasa.

Menurut Ooi Kee Beng, Direktur Eksekutif Penang Institute, sebuah think tank yang didanai Pemerintah Negara Bagian Penang, menilai kekalahan koalisi BN tak lepas dari sosok pemimpin United Malays National Organization (UMNO), Najib Razak. Kesalahan Najib sudah tampak jauh sebelum menjadi Perdana Menteri (PM) pada 2009. Saat itu, dia diduga mengudeta Abdullah Badawi. Masa jabatan Najib pun terus terganggu oleh sejumlah skandal serius, seperti pembunuhan model Mongolia Altantuya Shaariibuu dan kasus korupsi 1MDB yang diselidiki Amerika Serikat (AS), Swiss, dan Singapura.

Diamati dari kasus jatuhnya Soeharto dan Najib Razak terdapat persamaan yakni sama-sama sudah kehilangan kepercayaan rakyat. Kekuasaan yang terselimuti berbagai skandal diyakini akan segera tumbang. Skenario apapun tidak akan sanggup membendung kemarahan rakyat. Dan akhirnya rakyat mengambil sikap, jika di Indonesia melalui demonstrasi besar-besaran, sementara di Malaysia melalui Pemilu. Tetapi tujuannya sama yaitu menumbangkan pemimpin yang sudah kehilangan kepercayaan rakyat.

Peluang Oposisi Indonesia

Indonesia akan menggelar Pemilu Presiden pada 2019. Situasi yang saat ini terjadi di Indonesia mirip seperti di Malaysia jelang Pemilu. Rakyat sudah tidak percaya dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan nampak menginginkan Presiden baru di Pemilu 2019.

Berbagai kegiatan yang bertemakan ganti presiden selalu diikuti secara masif oleh rakyat. Di dunia maya misalnya, tagar #2019GantiPresiden hingga kini masih sangat dominan dan belum mampu tertandingi oleh tagar buatan para pendukung Jokowi.

Rakyat dengan berkaoskan #2019GantiPresiden juga berbondong-bondong membanjiri acara car free day (CFD) di kota-kota besar di Indonesia. Tidak ada komando dan tidak ada yang mengorganisir. Semua datang atas semangat perubahan. Namun sayang, gerakan yang semakin massif tersebut dikanalisasi oleh rejim yang takut perubahan.

Masifnya rakyat dalam mengusung perubahan karena menganggap pemerintahan Jokowi sudah gagal. Selain itu, mantan Walikota Solo tersebut juga dianggap banyak tidak menepati janji politiknya. Misalnya, berjanji tidak akan bagi-bagi kekuasaan, nyatanya dilanggar dengan membagi jatah menteri kepada parpol pendukung.

Berjanji tidak berhutang nyatanya hutang menumpuk hingga Rp. 5.000 triliun. Berjanji tidak akan impor produk pertanian, nyatanya impor beras 500 ribu ton dan impor 3,7 juta ton garam. Berjanji akan menegakkan nilai rupiah menjadi Rp. 10.000 per dolar AS, nyatanya rupiah makin melorot hingga Rp. 14.000 ribu per dolar AS.

Berjanji akan membangun tol laut, nyatanya tidak terealisir sama sekali. Sementara pembangunan tol Trans Jawa dan jalan Trans Papua yang selalu dibangga-banggakan Jokowi, statusnya hanya meneruskan masterplan yang sudah dibuat oleh pemerintahan sebelumnya dan seabrek janji politik lainnya yang tidak terpenuhi. Stigma pencitraan sudah menjadi identitas Jokowi. Pencitraan terbesar adalah ketika dahulu masih menjabat Walikota Solo dengan gagahnya memamerkan mobil Esemka kepada publik Indonesia. Namun hingga Jokowi menjadi Presiden, nasib mobil Esemka tidak jelas kelanjutannya.

Itulah yang mendasari rakyat sudah tidak percaya kepada Jokowi lagi. Jika Soeharto dan Najib Razak bisa dikalahkan, maka Jokowi juga bisa dikalahkan. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Vox Populi Vox Dei. Jika rakyat sudah tidak percaya, maka kekalahan siap menanti.

Partai Gerindra sebagai partai oposisi siap berjuang bersama-sama rakyat untuk menjemput impian perubahan. Jika Jakarta bisa dimenangkan, sekarang saatnya menjemput kemenangan di Pemilu Presiden 2019.

MOH. NIZAR ZAHRO
Ketua Umum SATRIA GERINDRA
(Satuan Relawan Indonesia Raya)

RELATED ARTICLES

Most Popular